Tuesday, January 4, 2011

TANPA JUDUL

Tak ada yang istimewa. Hari ini dan esok, sama saja. Tak ada suara kicauan, apalagi sentuhan hangat mentari. Masih sama dengan hari kemarin. Hanya detak jarum jam dinding yang menggema, bersaing dengan degupan jantungku satu-satu. Sebungkus rokok menemaniku, dengan lagu melayu yang mengalun, menambah warna suasana pagi menjelang siang ini.

Lentik jari menari indah di atas keyboard, menuangkan lintasan pikiran yang sedang terpacu. Hari berlalu dengan meninggalkan segala kesan. Membekas dengan cerita bosan tak berujung. Seribu karakter dengan sejuta cerita mumpuni, ditampilkan dalam lakon tanpa arahan sutradara yang real. Bercengkerama untuk satu alasan, mengomentari karena merasa tahu, bertindak karena merasa benar.

Ada yang tak pernah digauli bahkan tergauli, dan ada yang tak pernah meminta ataupun diminta. Karakternya muncul tanpa arahan. Sebuah fatamorgana tandus yang tak bernyawa. Berfantasi untuk satu tujuan, KEPUASAN.

Aku terlahir dalam dekapan kesederhanaan. Hidup berkubang lumpur dan derita. Apakah aku salah jika kini aku minum seteguk madu? Demi membebaskan belenggu haus yang sering menggerogoti faring. “Daripada haus tercekik, lebih baik mengolesinya dengan seteguk madu”, pikirku. Tapi apalah daya, tegukanku seperti memakan “buah khuldi”. Aku diusir dari singgasana surga. Jatuh terjerembab di bumi yang terasing. Jauh dari kebahagiaan dan keramaian. Mempesona dari kulitnya, ternyata busuk pada isinya.
Terkungkung oleh kebesaran bumi dan terpasung oleh kesucian hati. Tak dapat kembali, hanya berpaling satu-satu. Kini masih saja sama dengan kemarin. Tergiur dengan sombongnya, tanpa pamrih membual untuk sebuah asa. Aku kena lagi. Terpapar oleh sesumbarnya mereka. Mereka yang selalu menang. Yang mau melakukan sesuatu karena imbalan. Yang suka menuding, tapi tak pernah mau dituding. Yang harus diikuti, tapi tak mau mengekori. Hebat, sungguh hebat lakon ini.

Oh tuhan, Engkaulah yang memberikan segalanya. Pasrahku untuk mendapatkan ridho-Mu. Tawakalku untuk memperoleh nikmat-Mu. Bersyukur untuk semuanya, dan terima kasih Tuhan atas segalanya. Segala puji bagi-Mu, Tuhan seru sekalian Alam.
Yogyakarta, Januari 2011

Monday, December 27, 2010

ANTARA ASA DAN RASA

Terdiam di pojok kamar, dalam kebisuan yang menghangat
Hanya rinai hujan membisik lembut dan menari di atas genteng
Khayalku menari-nari mencoba merangkai masa yang berlalu dan menghadang
Tanpa sadar, banyak lakon yang telah terjadi, menggurat di sulcus dan gyrus-ku
Menyingkap tabir kehidupan dalam diam tanpa jiwa

Semakin terdiam,, dan terdiam lagi....
Segala impian tersurut dan kembali ke bumi
Ketika wajah-wajah itu memenuhi sudut-sudut ruang pikirku
Keram seluruh tubuh ini, karam impianku, dan terbunuh jasad ini
Kalian yang memiliki segalanya, kalian-lah yang menentukan aku
Bukan DIA, bukan pula MEREKA, akupun tak tahu
Kalian dan aku sama saja, dari jiwa dan raga yang selalu hitam
Mengapa kalian begitu tinggi bag langit, sekeras bag tembok batu, dan selicin belut putih
Asa yang dulu ada, kini hilang berganti kesuraman
Jiwa yang dulunya besar, kini mengerdil dan kecil
Kalian terlalu besar untuk ku peluk, terlalu suci untuk kugamit, dan terlalu hebat untuk ku geluti

Masih adakah asa yang tersisa dan pulangkan rasa itu??
Ataukah ada insani tulus ‘kan datang dan menggamit tangan ini??
Biarlah waktu yang menjadi hakim
Keputusan-Mu adalah wahyu bagiku
Agar tak ada lagi kesendirian dengan mengutuk hari
Cuma Engkau yang selalu ada di dekat Nadiku
Yang selalu mengetuk dan mendobrak kelamnya hati
Semoga .....

Yogyakarta, Desember 2010

Wednesday, December 8, 2010

Sistem Gerak Dan Pewarnaan Tulang pada Katak pohon (Polypedates leucomystax) dan Kodok (Bufo melanosticus)

1.1. Dasar Teori
Amphibia tergolong hewan poikiloterm. Kulitnya (cutis) lembab berlendir, terdiri dari dermis dan epidermis. Permukaan kulit yang selalu lembab, memberikan suplai oksigen secara difusi dalam sistem pernapasan katak. Warna kulit bermacam-macam karena adanya pigmen di dalam dermis, tepat di bawah epidermis. Amphibia memiliki kulit dengan permeabelitas tinggi dan memiliki kelenjar. Pada Amphibia, kulit merupakan organ yang penting. Kulit katak memiliki sifat permeabilitas, dimana air dan gas dapat “keluar-masuk”. Kulit katak juga berfungsi sebagai alat pernafasan dan harus lembab sehingga tidak kekeringan. Oleh karena itu katak harus mengembangkan adaptasi yang berhubungan erat dengan sifat dari kulit mereka (Duelman & Trueb, 1986).
Untuk mengurangi kemungkinan kulit mengering maka adaptasi yang dilakukan adalah; (1) Merapatkan tubuh untuk mengurangi luas permukaan yang bisa mengering, (2) hidup dekat dengan sumber air, (3) berlindung di bawah tumbuhan teduh atau permukaan batu, (4) menutupi kulit dengan bahan licin, dan (5) masuk ke dalam tanah.
Mempunyai dua lubang hidung yang berhubungan dengan rongga mulut dan disebut koane. Sedangkan antara rongga mulut dan rongga telinga dihubungkan dengan saluran eustachius. Endoskeleton mempunyai columna vertebralis (ruas-ruas tulang belakang). Telur amphibia tidak memiliki cangkang dan akan kehilangan air dengan cepat di udara kering. Fertilisasi terjadi secara eksternal pada sebagian besar spesis dengan jantan mendekap betina dan menumpahkan spermanya di atas telur-telur yang dikeluarkan oleh betina. Amphibi umumnya bertelur di kolam, rawa, atau paling banyak di lingkungan yang lembab. Bergantung pada spesis, baik jantan maupun betina bisa mengerami telur di punggungnya, dalam mulut, atau bahkan di dalam perutnya (Duelman and Trueb, 1986).
Banyak amphibia memperlihatkan perilaku sosial yang kompleks dan beranekaragam, khususnya selam musim kawin. Katak umumnya makhluk yang diam, tetapi banyak spesis yang mengelarkan suara-suara untuk memanggil pasangan kawin selam musim kawin. Jantan bisa bersuara keras untuk mempertahankan daerah kawin atau untuk menarik perhatian betina.
Dua pasang anggota gerak untuk berenang dan berjalan, yang belakang relatif panjang dan digunakan untuk melompat. Alat gerak aktif berupa otot yang berbeda dengan miotom pada ikan. Mempunyai tulang rusuk (costae), tulang dada (sternum), selangka (klavikula), belikat (skapula), korakoid, dan supraskapula. Anggota gerak berpasangan bagian depan (exterimitas anterior) terdiri dari lengan atas (humerus), lengan bawah (radius-ulna), pergelangan tangan (metacarpalia), telapak tangan (carpalia), dan jari-jari (phalankx). Anggota gerak berpasangan bagian belakang (exterimitas posterior) terdiri atas paha (pes-termodifikasi dari femur), betis (manus-termodifikasi dari tibia fibula), pergelangan kaki (metatrsalia), telapak kaki (tarsalia), dan jari-jari (phalanx). Terdapat selaput renang berupa kulit tipis diantara jari-jari (Duelman and Trueb, 1986).
a. Habitat dan Persebaran
Amphibia muncul pada pertengahan periode Jurassic, pra era Paleozoik sebagai vertebrata yang tertua. Kebanyakan Amphibia adalah hewan tropis, karena sifatnya yang poikiloterm atau berdarah dingin. Amphibia memerlukan sinar matahari untuk mendapatkan panas ke tubuhnya, karena tidak bisa memproduksi panas sendiri. Oleh karena itu banyak amphibia yang ditemukan di wilatah tropis dan sub tropis, termasuk di Indonesia.
Amphibia umumnya merupakan makhluk semi akuatik, yang hidup di darat pada daerah yang terdapat air tawar yang tenang dan dangkal. Tetapi ada juga amphibia yang hidup di pohon sejak lahir sampai mati, dan ada juga yang hidup di air sepanjang hidupnya. Amphibia banyak ditemukan di areal sawah, daerah sekitar sungai, rawa, kolam, bahkan di lingkungan perumahan pun bisa ditemukan.
Katak pohon diketahui menyebar di India , Burma, Tiongkok selatan, Kamboja, Laos, Vietnam, Thailand, Semenanjung Malaya, Nikobar, Mentawai, Sumatera, Kalimantan, Filipina, Sulawesi, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Pulau Sumba kecil hingga ke Timor. Menurut Iskandar (2002), Anura yang terdapat di pulau Jawa terdiri dari 5 Famili, yaitu Bufonidae, Microhylidae, Megophryidae, Ranidae, dan Rhacophoridae. Meskipun pada akhirnya ada 2 famili lain yang juga ditemukan di Indonesia yaitu Bombinatoridae dan Hylidae.
Ordo Anura terdiri dari sekitar 4000 spesies yang tersebar di seluruh dunia. Sebenarnya, keberagaman Anura di dunia melebihi jumlah nama (common name) yang dapat digunakan untuk membedakan mereka. Karakter pembeda yang terdapat pada Anura adalah ketiadaan ekor. Anura berasal dari bahasa Yunani yaitu ”A” yang berarti tidak atau tanpa dan ”Uro” yang berarti ekor (Pough, et al., 1998).
b. Karakteristik
Sebagian besar Anura memiliki tubuh pendek, kepala besar dan empat tungkai yang berkembang dengan baik. Panjang relatif dari tungkai depan dan tungkai belakang Anura membuatnya dikelompokkan dalam kategori lokomotor. Spesies dengan tungkai belakang yang pendek umumnya termasuk dalam golongan pelari (runner), pejalan (walker) atau pelompat (hopper) sedangkan mereka yang memiliki tungkai belakang panjang termasuk dalam golongan perenang (swimmer) atau pelompat (jumper: dalam sekali lompatan jarak yang ditempuh 10 kali panjang tubuh atau lebih). Di antara para pelompat, tungkai belakang dengan otot yang besar dapat digolongkan sebagai pelompat yang baik. Tungkai belakang yang panjang juga dihubungkan dengan katak pemanjat (Pough, et al., 1998).
Anura memiliki ciri umum morfologi yang mudah dikenali. Katak (Ranidae) dan kodok (Bufonidae) mudah dikenal dari bentuk tubuhnya yang tampak seperti berjongkok dengan memiliki empat anggota gerak (tetrapoda) untuk melompat (saltation). Struktur tulang Anura juga telah termodifikasi dengan tidak sempurna menjadikannya ringan memudahkan untuk melompat. Lehernya tidak jelas dan tidak memiliki ekor. Mata umumnya bulat dengan pupil horizontal atau vertikal, dan memiliki kelopak mata yang dapat ditutup. Mata Anura mampu membedakan warna, namun tidak mampu membedakan bentuk. Alat gerak depan (extremitas anterior) memiliki empat jari sedangkan alat gerak belakang memiliki lima jari (pentadactylus), dengan selaput renang (webb) yang terdapat antara jari-jari serta bervariasi pada tiap jenisnya. Alat gerak belakang berkembang lebih baik, umumnya lebih panjang dan kuat daripada yang depan. Tekstur kulit bervariasi dari halus pada beberapa katak dan kasar berupa tonjolan-tonjolan kasar pada kodok. Kulit tidak memiliki sisik, kulit selalu lembab dan basah serta bersifat permeabel (Duelman and Trueb, 1986; Iskandar, 2002).
Ciri-ciri umum dari anggota ordo Anura adalah; (1) memilliki anggota gerak yang secara anamotis pentadactylus, kecuali pada apoda yang anggota geraknya tereduksi. (2) tidak memiliki kuku dan cakar, tetapi ada beberapa anggota amphibia yang pada ujung jarinya mengalami penandukan membentuk kuku dan cakar, contoh Xenopus sp., (3) kulit memiliki dua kelenjar yaitu kelenjar mukosa dan atau kelenjar berbintil (biasanya beracun), (4) pernafasan dengan insang, kulit, dan paru-paru, (5) mempunyai sistem pendengaran, yaitu berupa saluran auditory dan dikenal dengan tympanum, (6) Jantung terdiri dari tiga lobi ( 1 ventrikel dan 2 atrium), (7) mempunyai struktur gigi, yaitu gigi maxilla dan gigi palatum, (8) merupakan hewan poikiloterm (Duellman and Trueb, 1986).
Pertahanan diri pada Anura antara lain escape (melarikan diri) dengan cara melompat atau berenang, yang kedua adalah melakukan kamuflase sesuai dengan habitatnya (contoh seperti jenis Megophryidae yang memiliki warna seperti daun kering atau pada jenis Rhacophoridae yang hidupnya di pohon-pohon tinggi dan memiliki warna yang sama dengan daun), yang ketiga adalah chemical defense yaitu dengan adanya kelenjar granuler (mucosa dan racun) pada kulit, yang keempat adalah aposematisme (misal pada jenis Dendrobatidae yang biasanya berwarna mencolok (aposematik), menggembungkan badan dan mengangkat kaki belakang supaya kelihatan lebih besar dan menyulitkan ketika akan dimakan serta yang terakhir adalah dengan menggigit (misalnya Asterophrys turpicola dari Papua) (Zug, 1993).
1.2. Alat dan Bahan
1) Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini terdiri dari; Akuarium kering, pisau bedah, Pipet tetes, Botol, Gelas ukur, tabung reaksi, sebagai tempat perendaman objek pengamatan, gunting, jarum pentul, cawan petri, papan section, kertas miligram, kamera digital, lembar pengamatan.
2) Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini terdiri dari; katak pohon (Polypedates leucomystax) dan kodok (Bufo melanosticus), larutan chloroform, alkohol 96%, aseton, gliserin dan KOH dengan perbandingan masing-masing 4:1, 1:1, dan 1:4, pelarut (air), larutan alcian blue dan alizarin red masing-masing dengan konsentrasi 0,1 %, larutan asam asetat dengan volume 1 ml., larutan gliserin murni.
1.3. Tujuan Praktikum
• Mengamati perbedaan sistem gerak pada kodok dan katak pohon.
• Mengetahui perbedaan anatomi dan struktur morfologi kodok dan katak pohon.
• Mempelajari perbedaan pewarnaan tulang dan tulang rawan pada kodok dan katak pohon.
1.4. Prosedur Kerja
 Kegiatan Pertama
- Mengamati pergerakan katak pohon (Polypedates leucomystax) dan kodok (Bufo melanosticus) dalam akuarium kering. Kemudian kami bius dengan larutan chloroform. Setelah itu kami ukur tubuh katak pohon (Polypedates leucomystax) dan kodok (Bufo melanosticus) tersebut, dengan menggunakan kertas miligram. Kemudian kami kuliti bagian metacarpalia dan metatarsalia. Selanjutnya bagian yang telah dikuliti tersebut, kami potong, dibersihkan dan dimasukkan ke dalam botol yang terdapat larutan alkohol 96 %.





 Kegiatan kedua (2 hari setelah kegiatan pertama dilakukan)
- Kami masukkan ke dalam larutan aseton selama 2 hari.
 Kegiatan ketiga
- Membuat larutan alcian blue dan alizarin red.
- Diamati
1.4. Hasil dan Pembahasan
 Hasil
• Pengamatan Gerak
- Katak pohon (Polypedates leucomystax) melompat lebih jauh dibandingkan dengan kodok (Bufo melanosticus).
• Pengukuran tubuh
- Katak pohon (Polypedates leucomystax) berukuran lebih kecil dibandingkan dengan kodok (Bufo melanosticus).
• Pengamatan pewarnaan
- Tulang rawan berwarna biru, sedangkan tulang berwarna merah. Pada katak pohon (Polypedates leucomystax), ujung jari kaki maupun tangan membentuk bangunan berbentuk huruf T atau Y. Pada Bufo melanosticus, ujung jari tidak melebar, dan tidak mempunyai discus intercalaris.
 Pembahasan
Morfologi katak berbeda tergantung pada habitatnya. Katak pohon seperti famili Rhacophoridae memiliki piringan (discus) pada ujung jarinya untuk membantu dalam memanjat. Katak akuatik atau semi-akuatik seperti famili Ranidae memiliki selaput diantara jari-jarinya untuk membantu dalam berenang. Katak terestrial tidak memiliki selaput ataupun piringan, tetapi cenderung memiliiki warna yang menyerupai serasah atau lingkungan sekelilingnya, seperti pada genus Megophrys. Ukuran SVL (snout vent length) Anura berkisar dari 1-35 cm, tetapi kebanyakan berkisar antara 2-12 cm. Katak dan kodok tersebar pada seluruh benua kecuali pada kedua kutub dan daerah gurun yang sangat kering, dengan lebih dari 80% dari seluruh jenis terdapat di daerah tropik dan sub-tropik.
 Family Bufonidae
Bufonidae memiliki bentuk tubuh gemuk, kekar, dengan empat tungkai dengan jari-jari yang melebar sebagian atau bebas dan ujung jarinya tidak membentuk kuku, pada banyak genera membentuk huruf “T”. Tipe gelang bahunya arciferal, epicoracoidnya saling tumpang tindih dan sacral diapophysis melebar.
 Family Rhacophoridae
Tipe gelang bahu firmisternal, vertebrae bertipe procoel. Ada elemen intercalar pada digiti. Amplexus bertipe axillary. Ukuran SVL tubuh bervariasi kurang dari 20 mm hingga lebih dari 120 mm. Sebagian besar habitatnya arboreal dan pada ujung jari kakinya terdapat discus. Tergolong dalam katak pohon dunia lama. Meskipun begitu, ada juga Rhacophoridae yang terrestrial dan disk-nya tidak berkembang.






Gambar 2. Hasil pengamatan tungkai katak dan kodok di bawah mikroskop.

DAFTAR PUSTAKA

Duellman, W.E., and L. Trueb. 1986. Biology of Amphibians. McGraw – Hill Book Company. New York.

Hildebrand, M. 1982. Analysis of vertebrate structure, second edition. John Willey & Sons. New York.

Iskandar, D.T., and E. Colijn. 2000. Preliminary Checklist of Southeast Asian and New Guinean Herpetofauna: Amphibians. Treubia 31 (3): 1-133.

Jasin, M. 1984. Sistematika Hewan (Invertebrata dan vertebrata). Surabaya: Sinar Wijaya.

Pough, F.H, et. al. 1998. Herpetology. Prentice-Hall,Inc. New Jersey. Pp. 37-131

Zug, George R. 1993. Herpetology : an Introductory Biology of Ampibians and Reptiles. Academic Press. London, Pp : 357–3.

Tuesday, December 7, 2010

GENDERISASI, PERSPEKTIF ORGASME

Selama ini perempuan pasif dalam seksual....
Ketika seorang wanita berbicara tentang seksual atau suatu ucapan yang berbau seks, maka akan ada perlekatan bahwa dia adalah seorang perempuan yang tidak baik.....Atau apabila seorang perempuan mengungkapkan isi hatinya dan mengekspresikan daya seksual mereka, langsung diintimidasikan dengan hal-hal yang negatif. Ruang terbatas yang diberikan kepada mereka menjadi pembatas untuk bekerja, dan berbuat. Bukan saja di dalam kehidupan yang serba gemerlap ini, namun perlakukan “ketidakadilan” tersebut terjadi juga di “tempat tidur”. Laki-laki sering menjadikan mereka sebagai objek, bukan sebagai subjek.
Kaum laki-laki seringkali merasa memiliki “hak istimewa” untuk membuat berbagai penilaian atas tubuh perempuan. Penilaian laki-laki umumnya hanya berkisar pada wujud dan ukuran buah dada, bentuk pinggul, mulusnya paha, warna dan seksinya bibir, gaya dan panjang rambut, dan lain sebagainya yang bersifat biologis. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana bila giliran perempuan yang mengekspresikan pengalaman seksnya? Jawabnya adalah Tabu. Itulah jawaban yang sering kita dengar di tengah masyarakat, khususnya di Indonesia, yang masih kuat memegang teguh budaya ketimuran dan doktrin agama. Apalagi seorang perempuan yang membicarakan pengalaman puncak kenikmatan seksnya atau orgasmenya di depan publik. Selama ini masih ada anggapan kuat bahwa perempuan tidak pantas membicarakan kenikmatan seksnya secara terbuka. Tabu atau pantangan adalah suatu pelarangan sosial yang kuat terhadap kata, benda, tindakan, atau orang yang dianggap tidak diinginkan oleh suatu kelompok, budaya, atau masyarakat. Pelanggaran tabu biasanya tidak dapat diterima dan dapat diaggap menyerang. Beberapa tindakan atau kebiasaan yang bersifat tabu bahkan dapat dilarang secara hukum dan pelarangannya dapat menyebabkan pemberian sanksi keras. Tabu dapat juga membuat malu, aib, dan perlakuan kasar di lingkungan sekitar.
Berbagai kalangan menilai bahwa perempuan merupakan suatu misteri yang sulit ditentukan. Salah satu kesulitan yang tidak dapat diukur adalah kehadiran orgasme dalam kehidupan seksual perempuan. Sekitar 70% perempuan di dunia, tidak mampu melakukan orgasme. Orgasme pada perempuan, hanya terjadi pada 3 dari 10 orang perempuan saja. Ini membuktikan bahwa betapa sulitnya perempuan mencapai titik klimaks (puncak kenikmatan) yang sering diidolakan itu. Berbeda dengan laki-laki, hampir 70% mencapai orgasme dengan sempurna.
Terkadang kita sering melupakan pentingnya orgasme bagi perempuan. Ketika kita diperhadapkan dengan kelembutan dan kehangatan perempuan, tak pelak sisi arogansi kita sering dikedepankan. Atas nama cinta dan kasih sayang, kita mengelukan dan menggembar-gemborkan kepuasan lahiriah. Namun dibalik itu semua, ada “penjajahan terselubung” yang sulit untuk diungkapkan. Titik G-Spot yang selama ini digembor-gemborkan, ternyata hanya sebagai simbol pengetahuan bagi kaum adam semata. Aplikasinya, tetap tidak merubah keadaan. Mayoritas perempuan, masih terbelenggu dalam ketidakpuasan. Apakah titik G-Spot tersebut sulit ditemukan? Tidak. Lalu, apakah dari perempuan sendiri yang sulit mencapai klimaks??Sekali lagi tidak. Lantas, bagaimana perempuan harus mencapai klimaks itu??
Ada 3 faktor pemicu orgasme perempuan:
1. Mempunyai Relasi yang sama. Kedudukan antara perempuan dan laki-laki yang sederajat/setara, dapat memicu terjadinya orgasme pada seorang perempuan. Keinginan-keinginan perempuan dapat diungkapkan, komunikasipun dapat berjalan dengan lancar (dua arah, bukan searah). Sehingga diharapkan, dengan membangun kesetaraan di antara pasangan, dapat memicu terjadinya orgasme perempuan.
2. Tahu tentang seluk-beluk diri dan tubuhnya. Seorang wanita yang mengetahui keadaan diri dan tubuhnya, akan semakin membuat dia paham akan kebutuhan setiap inchi dari tubuhnya. Kondisi demikian dapat memicu terjadinya orgasme. Karena bagi perempuan yang tahu akan tubuhnya, maka kenikmatan seksual dapat terpenuhi. Sehingga pendidikan seksual bagi kaum perempuan juga berperan dalam menigkatkan orgasmenya.
3. Tidak berada dalam tekanan atau tindak kekerasan. Jelaslah bahwa apabila seorang perempuan berada dalam tekanan, maka dia tidak dapat menikmati aktivitas seksual dengan sempurna.
Faktor-faktor penghambat orgasme perempuan adalah:
1. Wanita yang telah dipoligami. Mereka akan merasa bahwa tubuh, cinta dan sayang mereka telah terbagi. Tidak utuh lagi, sehingga kenikmatan seksual mereka tidak tereksplorasi dengan baik.
2. Tidak ada kesetaraan. Dominasi laki-laki bukan saja dalam kehidupan sehari-hari, tetapi berlanjut di “tempat tidur”. Hal ini mempengaruhi perempuan untuk berkomunikasi dengan pasangannya. Sehingga dapat mengurangi kemampuan orgasme mereka, bahkan hilang sama sekali. Banyak perempuan yang merasa bahwa mereka hanya dijadikan sebagai tempat pemuas nafsu saja, tidak lebih dari itu.
Kaitannya dengan kata dominasi, maka ada dominasi dari sistem patrilinial yang sangat terasa dalam hidup dan kehidupan. Termasuk kemampuan dominasi manusia terhadap mahluk hidup lainnya. Alam ini sedang “diperkosa” oleh dominasi kebudayaan yang maskulin. Sehingga eksploitasi dan eksplorasi terhadap alam, dapat kita saksikan di setiap penjuru tanah air. Ini membuktikan betapa kegiatan “pemerkosaan” terhadap alam, sering dilakukan. Tak ada rasa penyesalan sedikitpun atas perlakuan ini. Budaya dominasi terhadap sesuatu, menjadikan kita merasa lebih baik daripada mahluk hidup lainnya. Perilaku konsumtif juga turut menjadi faktor pemicu dan pendukung atas kegiatan ini. Peradaban yang kita bangga-banggakan hanya menjadi kamuflase dengan eksistensi perilaku oknum tertentu.
Semestinya kita berpikir untuk mementingkan pendidikan, bukan “keperawanan”......Karena yang terjadi akhir-akhir ini banyak kalangan yang menilai pentingnya “keperawanan” seseorang terhadap lurus tidaknya dia atau suci tidaknya perilaku dia dalam kehidupan. Bahkan saat ini tengah digodog untuk dijadikan pedoman dalam suatu kebijakan perundang-undangan di bidang pendidikan. Penerapan ini telah lebih dulu dilakukan oleh Lembaga negara yang bernama kepolisian. Bahwa barang siapa yang tidak “perawan” tidak bisa menjadi Polwan. Pertanyaannya, bagaimana dengan keperjakaan laki-laki? Apakah dinilai juga???
Kenikmatan seksual pada perempuan dapat bervariasi. Dielus, disayang-sayang dsb, dapat memicu terjadinya orgasme. Hal ini bisa dikatakan bahwa orgasme merupakan salah satu indikator dalam menentukan kenikmatan seksual seseorang. Banyak perempuan yang tidak merasakan orgasme, bahkan ketika ditanya, bagaimana rasanya orgasme itu?? Diantara mereka ada yang menjawab tidak tahu. Lebih buruk lagi, bahkan sampai hari tua mereka tidak mampu merasakan orgasme. Berbanding terbalik dengan laki-laki. Umumnya laki-laki selalu mencapai klimaks. Apakah ini yang disebut dengan “keadilan”?? mungkin diantara para pembacapun mengalami hal yang demikian??? Mohon dijawab sendiri.
Kemampuan untuk mengungkapkan dan mengekspresikan keinginan seksual bagi seorang perempuan, membutuhkan kekuatan hati yang kuat. Ini dapat dilakukan jika adanya kesetaraan di antara pasangan. Jika ada salah satu pasangan yang mendominansi, maka akan menjadi bumerang serta menjadi sulit bagi pasangannya dalam mencapai orgasme. Inilah yang terjadi pada perempuan-perempuan kita...
Agresifitas laki-laki membuat mereka lebih dominan dalam seksual...Laki-laki selalu mendominasi dan selalu berharap perempuan untuk tunduk atas kemauan mereka. Dari segi pengalaman, laki-laki lebih tahu banyak daripada wanita (umumnya). Ini karena mereka (Red,laki-laki) lebih banyak membaca buku atau majalah yang berhubungan dengan seksual. Bahkan mungkin saja diantaranya telah lebih dulu berpengalaman. Dan dengan pengalaman dan pengetahuannya itulah, dia (Red, laki-laki) membentuk bahtera rumah tangga, dengan harapan menjadi keluarga yang sakinah. Perempuan sepintar apapun dia, menjadi tabu ketika membahas, atau mengucapkan kata-kata yang berhubungan dengan seksual. Jika ada, maka perempuan tersebut akan dicap sebagai perempuan yang tidak baik. Perempuan yang terhormat dan suci, apabila dia tidak mengucapkan kata-kata yang berhubungan dengan seksual. Dalam hal ini, pendidikan seksual masih dianggap tabu dan menjadi terbatas pada kalangan, daerah atau tingkat masyarakat tertentu saja.
Titik tolaknya bahwa kebudayaan harus membebaskan wanita dalam persoalan seksualitas. Seksualitas bukan saja dinilai hanya sebatas di “Tempat Tidur” saja, namun lebih dari itu. Jika demikian, maka hak-hak wanita banyak yang tidak terpenuhi. Intinya adalah, kalau diskriminasi di tempat tidur dapat dibongkar, maka diskriminasi di ruang publik akan mudah terkuak.
Orgasme itu dianalogikan ketika kita menggambarkan pelangi kepada seorang buta. Seorang perempuan yang semakin naif, akan dikategorikan sebagai perempuan yang suci. Artinya, semakin naif berarti semakin suci. Semakin diam, berarti semakin baik. Benarkah demikian???
Akhirnya, kesimpulan yang dapat diambil adalah “Sadarilah, bahwa perempuanpun berdaulat atas tubuhnya sendiri”. Berikanlah kemerdekaan kepada mereka. Untuk generasi orgasme di masa mendatang....
Semoga.....

Sunday, October 3, 2010

PELAYANAN KESEHATAN, ANTARA HARAPAN DAN ANGAN-ANGAN

ZULKIFLI AHMAD
DOSEN PADA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (FKIP)
UNIVERSITAS KHAIRUN TERNATE


WARNA PUTIH, sering kita analogikan dan persepsikan sebagai lambang kesucian, yang berarti bersih dan terhindar dari kotoran. Menggunakan sesuatu yang berwarna putih, berarti komitmennya adalah kita mesti rajin membersihkannnya. Alasannya karena warna putih sangat mudah kotor (rentan). Bagi mereka yang suka warna putih, katanya orang tersebut cinta dan suka dengan kebersihan. Bahkan lahirlah pemikiran, bahwa mereka adalah orang-orang yang “bersih“.
Sungguh pemikiran yang menurut saya terlalu berlebihan. Apalah artinya warna baju yang kita pakai, apabila kulit kita masih tetap saja hitam? Seperti kata pepatah usang “baju berbeda, belum tentu isi baju akan berbeda pula”. Seputih apapun baju yang kita kenakan, namun belum tentu jiwa-jiwa yang berada dibalik baju itu, suci dan bersih seputih baju.
Makna dari pepatah tersebut di atas, membuat kita berpikir bahwa apapun warna pada baju yang kita pakai, kulit kita senantiasa selalu hitam. Seragam apapun yang kita kenakan, kulit kita akan tetap sama. Karena hakikat kita semua adalah berasal dari sesuatu yang hitam dan dianggap kotor yakni “tanah”.
Bukan berarti karena hakikatnya kita telah kotor, lantas kita melupakan kebersihan, dan bahkan tidak memperdulikannya lagi. Tidak sahabat ! sekali-kali tidak!. Yang namanya kebersihan, selalu kita jaga sesuai dengan tuntunan Agama. Namun jangan karena alasan demi kebersihan, lantas membuat kita lupa akan perikemanusiaan, lupa akan siapa yang lebih tua, tidak sadar akan hakikat kita, bahkan merasa diri lebih bersih dari orang lain.
Ada peristiwa dimana mereka yang berpakaian putih (orang bersih dan suci) tidak mau menyentuh luka pada kaki yang hampir membusuk dan bernanah, dengan alasan jijik….?? Di beberapa ruangan, dimana pengalas kaki bagi mereka yang berpakaian putih dihalalkan, sedangkan bagi orang lain “haram”. Pertanyaan mendasar yang perlu kita jawab adalah apakah baju warna putih yang dikenakan-yang berarti suci itu-berbeda dengan kita? Apakah dengan berseragam, kita harus bersikap dan bertingkah beda antar sesama? Seolah-olah mereka seperti manusia suci yang tidak pernah tersentuh oleh kuman penyakit. Seolah-olah mereka adalah manusia yang memiliki kekuatan super, dan senatiasa merasa diperlukan/dibutuhkan, sehingga kita tidak boleh memandang mereka sebelah mata. Dan yang lebih buruk lagi, seolah-olah mereka lebih terhormat dan lebih mulia dari kita, masyarakat biasa.
Saya kemudian berpikir bahwa mungkin sebagian dari mereka yang berpakaian putih itu tidak banyak tahu tentang betapa pentingnya pelayanan yang baik terhadap tingkat kesembuhan seseorang. Dewasa ini, banyak para ilmuwan, kimiawan dan dokter yang gemar melakukan penelitian kualitatif dan menghubungkan antara pengaruh pelayanan terhadap tingkat kesembuhan pasien. Penelitian kuantitatif yang selama ini digunakan, dengan menggunakan angka dan skor-skor tertentu, sudah banyak ditinggalkan. Mereka mulai beralih pada penelitian yang ada hubungannya dengan pelayanan.
Begitu besar arti pelayanan kepada seseorang, sehingga membutuhkan kinerja yang baik tanpa keluhan dan ketusan. Mereka digaji oleh Negara untuk melayani dan memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Selain sebagai Abdi Negara, mereka juga sebenarnya hanyalah “pelayan” bagi masyarakat dengan sebutan “perawat”. Tidak ada aturan yang menyatakan bahwa pelayanan yang baik hanya diberikan kepada orang-orang/golongan tertentu saja. Siapapun yang datang meminta pertolongan medis, entah itu Pejabat daerah, Kontraktor, Dosen, Guru, Polisi bahkan tukang Ojek maupun tukang Bakul harus senantiasa dilayani dengan penuh sopan, ramah dan tidak ketus.
Terkadang jika kita berhadapan dengan petugas jaga malam, berbeda dengan petugas jaga siang. Ketika kita melapor keadaan pasien kepada petugas jaga malam, selalu saja ada komentar dan bertingkah ketus karena mungkin mengganggu istirahat atau kegiatan nonton tv mereka. (ini petugas jaga ataukah petugas tidur? Kalau mau tidur/nonton tv, mending di rumah saja!).
Tidak semestinya kita merasa lebih dari manusia lainnya, hanya karena pakaian yang kita kenakan. Tidak semestinya kita berbuat ketus karena alasan lelah/capek selama bertugas. Itu adalah bagian dari profesi dan sebuah konsekuensi logis. Di antara kita, siapakah yang ketika bekerja tidak pernah lelah/capek? Yang namanya capek, semua orang pasti merasakannya (kecuali bagi mereka yang terganggu sarafnya). Jika memang sudah tak sanggup lagi melaksanakan tugas dan tanggung jawab karena sering merasa capek/lelah, saran saya lebih baik segera mengundurkan diri dari PNS agar terbebas dari rasa lelah/capek yang kini membelenggu.
Namun tidak semua perawat memberikan pelayanan buruk, ada beberapa juga yang sopan, ramah dan tidak ketus dalam bertugas. Andaikan semua perawat seperti ini, tidak ada tulisan bahkan keluhan seperti ini. Kembali lagi kepada person, bahwa karakteristik manusia sungguh bervariasi. Kita hanyalah manusia biasa, bukan Malaikat ataupun manusia Super.
Untuk membentuk manusia Indonesia yang sehat, terletak pada kesadaran diri masing-masing untuk bersikap dan bertindak yang sehat. Semoga warga yang sehat, akan tercipta ukhuwah yang sehat. Dan ukhuwah yang sehat akan tercipta kota madani yang warahmah wabarkah, amin….
Bukan Sekedar Angan-Angan Dalam Kenyataan, Tetapi Angan-Angan Yang Harus Dinyatakan…

Saturday, April 10, 2010

KARAKTERISTIK BURUNG MALEO & MAMOA (Hewan Fossorial)

A. Klasifikasi
Famili Megapodiidae memiliki 22 spesies dalam 3 Genus utama, yaitu Megapodius, Macrocephalon dan Eulipoa. Dalam genus Megapodius, terdapat 20 spesies diantaranya Megapodius freycinent (gosong kelam), Megapodius bernsteinii (gosong Sula), Megapodius geelvinkianus (gosong Biak), Megapodius tenimberensis (gosong Tanimbar) dan lain-lain. Dalam genus tunggal Macrocephalon, terdapat Macrocephalon maleo (burung Maleo) yang hanya ada di Pulau Sulawesi (endemik Sulawesi). Dan dalam Genus tunggal Eulipoa, terdapat Eulipoa wallacei (mamoa/gosong Maluku) yang hanya terdapat di Maluku dan Maluku Utara (endemik Maluku).
Klasifikasi ilmiah
•Kerajaan: Animalia
•Filum : Chordata
•Kelas : Aves
•Ordo : Galliformes
•Famili : Megapodiidae
•Genus : Eulipoa (Ogilvie-Grant, 1893)
•Spesies: Eulipoa wallacei (gosong Maluku

Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Aves
Ordo : Galliformes
Famili : Megapodiidae
Genus : Macrocephalon (Sal. Muller, 1846)
Spesies : Macrocephalon maleo (Maleo)

B.Deskripsi Burung Maleo
Maleo Senkawor atau Maleo (Macrocephalon maleo) adalah sejenis burung gosong berukuran sedang, dengan panjang sekitar 55cm, dan merupakan satu-satunya burung di dalam genus tunggal Macrocephalon. Burung ini memiliki bulu berwarna hitam, kulit sekitar mata berwarna kuning, iris mata merah kecoklatan, kaki abu-abu, paruh jingga dan bulu sisi bawah berwarna merah-muda keputihan. Di atas kepalanya terdapat tanduk atau jambul keras berwarna hitam. Jantan dan betina serupa. Biasanya betina berukuran lebih kecil dan berwarna lebih kelam dibanding burung jantan.

C.Deskripsi Gosong Maluku
Burung gosong Maluku memiliki bulu berwarna coklat zaitun, kulit sekitar muka berwarna merah muda, iris mata coklat, tungkai kaki gelap, paruh kuning keabu-abuan, bulu sisi bawah abu-abu biru gelap dan tungging berwarna putih. Di punggungnya terdapat motif berbentuk palang dan penutup sayap yang berwarna merah gelap berujung abu-abu. Anak burung berwarna coklat dengan kaki dan paruh berwarna hitam.

D.Ekologi
Burung maleo (Macrocephalon maleo) adalah satwa endemik Sulawesi yang statusnya dilindungi undang-undang. Di Maluku ada juga jenis burung yang sama dan oleh masyarakat setempat disebut maleo/mamoa, tapi dari genus yang berbeda, Eulipoa. Kedua jenis ini statusnya di lindungi undang-undang, namun populasinya terus menurun dengan drastis karena degradasi dan fragmentasi habitat, serta dipercepat oleh eksploitasi terhadap telurnya. Degradasi habitat meliputi penurunan kualitas yang disebabkan oleh kerusakan hutan dan pengurangan luas akibat konversi hutan. Fragmentasi habitat disebabkan oleh konversi hutan di sekitar habitatnya sehingga menjadi terisolasi dan terpencar-pencar dalam kantong¬-kantong habitat yang kecil. Hal ini disebabkan oleh rencana tata ruang wilayah yang kurang memperhatikan aspek ekologi akibat kurangnya koordinasi antar sektor.
Komponen habitat burung maleo atau burung mamoa yang terpenting adalah lapangan tempat mengeramkan telurnya, karena burung maleo tidak mengerami sendiri telurnya, melainkan memendamnya didalam tanah atau pasir pada kedalaman tertentu di pantai atau di hutan dengan cara menimbun tanah dan serasah dengan tinggi satu setengah meter dan diameter sarang 3–4 meter tergantung jumlah pasangan yang bertelur. Hampir di pastikan bahwa semua jenis mamoa (Eulipoa wallacei atau Megapodius wallacei ) habitat bertelurnya di dekat pantai
Dalam seleksi habitat tempat bertelur, burung mamoa lebih merespon vegetasi dari aspek strukturalnya, yaitu kesinambungan horizontal (accsessibility), kesinambungan vertikal (tipe percabangan) dan penutupan permukaan tanah. Hal ini berkaitan dengan kemampuan terbangnya dan kebutuhannya akan media pergerakan (traveling), tempat istirahat, mengintai lapangan sarang (exploring), berlindung, bersembunyi dan melarikan diri dari predator. Penutupan permukaan tanah berhubungan dengan kebutuhan ruang untuk sarang, kemudahan menggali dan kebutuhan akan radiasi matahari untuk sarang yang bersumber panas matahari.
Burung mamoa sangat toleran terhadap perbedaan temperatur pengeraman yang bervariasi menurut lokasi, musim dan sumber panas. Perbedaan temperatur dalam batas-batas toleransi tersebut hanya mengakibatkan perbedaan masa pengeraman. Temperatur pengeraman telur burung maleo di Tanjung Maleo berkisar antara 32 – 38,5 °C (rata-rata 3 5,78 °C), sedangkan di Wahai 29,5 – 33 °C (rata-rata 30,77 °C). Temperatur optimal untuk pengeraman telur burung mamoa adalah 34 °C. Berkaitan dengan temperatur, faktor kunci yang menentukan cocok tidaknya suatu tempat sebagai sarang adalah keberadaan sumber panas pada kedalaman tanah yang dapat dicapai oleh induk maleo/mamoa.
Aktivitas bertelur dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu sebelum bertelur, saat bertelur dan sesudah bertelur. Aktivitas sebelum bertelur meliputi eksplorasi lapangan sarang, baik dari atas pohon maupun di permukaan tanah, mencari makan, bersosialisasi dan membuat sarang palsu. Aktivitas pada saat bertelur meliputi penggalian sarang asli, peletakan telur dan penimbunan sarang. Aktivitas sesudah bertelur meliputi beristirahat, mencari makan dan kembali ke hutan tropis dataran rendah. Dalam melakukan aktivitas di habitat tempat bertelurnya, burung maleo memiliki preferensi terhadap jenis-jenis pohon tertentu untuk tempat bertengger. Jenis-jenis pohon yang disukai adalah yang memiliki percabangan horizontal dan bertingkat-tingkat serta tajuknya yang tidak terlalu lebat. Dalam pergerakan dan pengintaian, burung maleo/mamoa lebih banyak menggunakan strata C (4-20 m).
Feeding territory burung maleo/mamoa bukan di lapangan persarangan tetapi di dalam hutan tropis dataran rendah. Meskipun demikian, jika di lapangan persarangan tersedia makanan, maka burung maleo/mamoa akan mencari makan, baik sebelum bertelur maupun sesudah bertelur. Burung maleo/mamoa termasuk omnivora atau pemakan segala. Makanannya meliputi buah-buahan, biji-bijian, serangga, invertebrata lantai hutan, siput dan kepiting. Burung maleo/mamoa mencari makan di lantai hutan dengan cara mencakar-cakar atau mengais serasah. Burung maleo/mamoa juga mencari makan di tepi-tepi sungai, rawa dan danau.
Alokasi waktu oleh burung maleo/mamoa untuk berbagai aktivitas di habitat tempat bertelurnya sangat tergantung pada faktor internal, yaitu kebutuhan individu (seperti makan, minum dan istirahat) dan faktor eksternal berupa kondisi bio-fisik (tekstur tanah dan ketersediaan makanan) serta intensitas gangguan. Dari proporsi waktu yang dialokasikan pada setiap strata pohon, selama berada di habitat tempat bertelurnya, burung maleo/mamoa menghabiskan 75 % waktunya di lantai hutan (strata E) atau dapat dikatakan bersifat teresterial daripada aerial (volans). Burung ini tidak mengerami telurnya, tapi menyerahkan urusan penetasan telur pada bumi dan panas matahari. Telurnya dikeluarkan pada malam hari, dibenamkan di dalam pasir/tanah. Anaknya yang baru menetas memerlukan waktu tiga hari bahkan ada yang lebih untuk muncul ke permukaan tanah. Anak maleo yang telah berhasil ditetaskan oleh alam, harus berjuang sendiri keluar dari dalam tanah sedalam kurang lebih 50cm (bahkan ada yang mencapai 1 m). Anak yang baru keluar dari dalam pasir/tanah tersebut, biasanya juga pada malam hari, langsung bisa berlari atau terbang (tanpa asuhan induknya) mencari perlindungan.
Ukuran telur maleo dan mamoa tidak seperti layaknya ukuran telur ayam. Maleo dan mamoa memiliki ukuran telur yang besar, bisa mencapai 5 kali lebih besar dari telur ayam. Beratnya pun mencapai 17% dari berat tubuh sang betina (rata-rata 232 gr). Dari ukuran telur sebesar itu dihasilkan kuning telur yang mencapai 67% dari total isi telur.

E.Bentuk dan Dimensi Sarang
Sarang adalah tempat perlindungan yang sangat vital. Mulai dari saat induk bertelur hingga membesarkan anak mereka. Pembuatan sarang paling rumit dilakukan oleh jenis burung seperti cinenen, perenjak dan burung madu karena memerlukan material khusus berupa benang laba-laba dan bulu burung untuk merangkai dan menjahit sarangnya. Sarang gantung khususnya sarang anyaman adalah rumah burung yang memiliki arsitektur paling mengagumkan. Jenis sarang ini biasanya menggantung pada ujung cabang, daun atau diantara dua ranting pohon. Bentuknya, beragam. Ada yang bulat dengan satu lobang masuk, lonjong atau seperti tabung reaksi. Apa pun bentuknya, hampir semua burung menganyam sarang gantung dengan rerumputan, dan cara menganyamnya bergerak dari satu sisi ke sisi lainnya, menusukkan helai rumput lewat celah dinding sarang, lalu menariknya hingga tembus dari sisi lain. Bahkan ada beberapa jenis burung yang menggunakan air liurnya untuk membuat sarang.
Sementara sarang paling aneh adalah milik burung suku gosong dan maleo. Maleo jantan menyiapkan gunungan tempat bertelur. Dia mencakar tanah untuk membuat lubang sedalam setengah meter (m). Lalu ditimbun dengan dedaunan. Hasilnya, berupa onggokan berdiameter 5 m dan tinggi 1 m. Pada gunungan pasir ini si betina menggali lubang untuk menempatkan telur mereka. Telur-telur itu pun ditimbun kembali dengan pasir dan kemudian ditinggalkan begitu saja hingga menetas sendiri.
Berbeda dengan gosong tanimbar (Megapodius tenimberensis). Mereka membuat inkubatornya (sarang) di dekat pantai atau hutan bakau. Bentuknya, gundukan seperti kerucut yang tersusun dari tanah basah, pasir putih bercampur daun-daun busuk dan basah. Tinggi gundukan itu bisa mencapai 3 m dengan diameter 5 m. Padahal gosong Maluku (burung mamoa) hanya menggali lubang di dalam pasir, meletakkan telurnya dan menutupnya kembali tanpa perlakuan lebih lanjut.
Burung mamoa membuat sarang pengeraman telurnya dengan bentuk, dimensi dan tipe sedemikian rupa sehingga dapat memberikan fungsi pengeraman yang efektif dan memberikan perlindungan serta kemudahan bagi anak mamoa setelah menetas agar dapat mencapai permukaan tanah dengan selamat. Berdasarkan distribusi letaknya, sarang pengeraman telur burung mamoa dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu (1) sarang tunggal dan (2) sarang komunal. Sarang komunal umumnya dibuat di lokasi yang arealnya terbatas. Berdasarkan letaknya terhadap benda lain, sarang pengeraman telur burung maleo dapat dikelompokan menjadi 6 tipe, yaitu : (1) sarang di tempat terbuka; (2) sarang dibawah naungan tajuk; (3) sarang dibawah lindungan pohon tumbang; (4) sarang dibawah naungan tebing atau batu; (5) sarang disamping akar; dan (6) sarang diantara banir. Sarang di tempat terbuka umumnya ditemukan di habitat bersumber panas matahari, sedangkan tipe sarang lainnya umumnya dijumpai di tempat habitat bertelur bersumber panas geothermal. Tipe sarang yang paling disukai oleh burung maleo di dalam hutan berturut-turut adalah : tipe sarang diantara banir pohon, dibawah pohon tumbang, di samping sistem perakaran, dibawah naungan tajuk dan yang paling tidak disukai adalah di tempat terbuka. Sementara itu, di Tanjung Maleo 100% sarang yang dipergunakan burung maleo dibuat di tempat terbuka. Sama halnya dengan tempat persarangan di kecamatan Galela, hampir semua sarang yang dibuat berada di tempat terbuka.

F.Karakteristik Morfologi Burung Maleo dan Mamoa
-Memiliki bentuk kaki yang kuat, besar dan kokoh untuk mencakar dan menggali pasir/tanah.
-Memiliki struktur kaki yang tebal dengan cakar yang kuat untuk menimbun pasir/tanah.
-Khusus pada burung maleo, memiliki kemampuan mendeteksi temperatur pasir/tanah berupa tonjolan yang ada pada kepalanya.
-Anak burung mamoa atau maleo telah memiliki kemampuan untuk terbang dan berlari cepat pada saat keluar dari sarangnya, tanpa asuhan dari induknya.

DAFTAR PUSTAKA

Heij C. J. dan Rompas M. 1997. Ekologi Megapodius Sulawesi-Maluku-Nusa Tenggara. Institut Pertanian Bogor.
Lambert, F. R. 1994. Avivauna of Bacan, Kasiruta and Obi, North Moluccas. Kukila 7 (1) 1.9
MacKinnon, J. (1981). Methods for the conservation of maleo birds, Macrocephalon
maleo on the island of Sulawesi, Indonesia. Biological Conservation 20, 183-193.

Saturday, November 28, 2009

Antara Penampilan dan Kekuasaan

ANTARA PENAMPILAN DAN KEKUASAAN
ZULKIFLI AHMAD



BAGI kita masyarakat awam, penampilan bukan merupakan suatu hal utama yang menjadi kebutuhan primer. Namun bagi mereka yang telah lama berpenampilan, telah menjadikan penampilan sebagai kebutuhan primer yang sangat sulit dipisahkan. Bahkan yang lebih buruk lagi dengan penampilan mereka dapat berbuat apa saja sesuai dengan apa yang mereka inginkan.
Di antara kita, ada yang merasa bangga dengan mengenakan seragam kebesaran tertentu yang secara hakiki ternyata milik rakyat. Tapi ada sebagian kecil dari kita yang merasa sungkan, bahkan jenuh dalam berpenampilan. Menurut meraka, penampilan terkadang sebagai pembatas yang memisahkan antara satu golongan dengan golongan lainnya.
Banyak dari kita sebenarnya telah lupa akan eksistensi kita di dunia ini. Masing-masing dari kita adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya. Dengan berpenampilan, kita menjadi serakah, angkuh dan terkadang berbuat ketus terhadap sesama. Dan dengan berbagai alasan yang kuat, mereka mencoba membenarkan apa yang mereka lakoni sebagai bagian yang tak terpisahkan dari profesi mereka.
Tentu saja tidak pernah ada yang mengakui, ketika pertanyaan-pertanyaan yang bersifat interrogative dilontarkan. Semua mengelak dan berusaha menghindar akibat dari perasaan tidak bersalah dan tidak pernah mengakui kelemahan. Kita tidak perlu meminta kepada Pemerintah suatu kebijakan atau pemberlakuan untuk tidak menggunakan seragam bagi instansi tertentu. Namun, hal yang paling pantas dan harus kita lakukan adalah refleksi dan evaluasi kembali tentang jiwa-jiwa yang bersembunyi di balik seragam tersebut.
Hadirnya kekuasaan dalam berseragam adalah mutlak menjadi hak prerogative person manusia, manakala mempunyai jabatan tertentu atau berada di instansi tertentu. Bukan itu saja, pengalaman berseragam dan di instansi mana ia lakoni, merupakan bagian dari kekuasaan seseorang. Apa yang patut kita banggakan untuk menjadi yang terbaik di dunia ini? Tidak ada yang perlu kita banggakan selain ketaatan kita kepada Tuhan Yang Maha Esa. Apakah ada firman Tuhan yang menempatkan posisi terhormat bagi mereka yang berpangkat atau berseragam indah ? Tidak sahabat, sekali-kali tidak!. Hanya dengan ketaqwaan tertinggi dan berilmulah yang dinaikkan derajatnya oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Di zaman kehidupan Nabi Muhammad SAW dulu, tidak ada ucapan dan tindakan ketus atas nama jabatan, kedudukan dan seragam. Semua yang dilakukan, atas dasar keadilan dan kearifan bagi sesama. Masih ingatkah kita akan sejarah Bung Karno-Seorang Tokoh yang selalu menulis rakyat dengan huruf R besar-yang berkunjung ke daerah dengan berjalan kaki? Apakah kendaraan pada waktu itu tidak ada? Ada sahabat, namun beliau tidak membuat batasan antara Rakyat dan pemimpin dengan menaiki kendaraan, sementara Rakyatnya hanya berjalan kaki.
Semua yang terjadi hari ini, ternyata dapat membuat kita mengambil suatu penilaian bahwa nilai-nilai kerakyatan, keadilan dan kearifan telah “mati” tergilas zaman. Adakah di antara kita yang senantiasa berpikir tentang kepentingan masyarakat/umum, di atas kepentingan pribadi dan golongan? Apakah dengan berseragam senantiasa membuat kita lupa akan eksistensi kita yang sebenarnya? Ataukah kita memang benar-benar buta?
Seringkali pertanyaan-pertanyaan tersebut hanya kita dengarkan dari suara hati yang telah cacat. Jauh di sanubari sehat, tidak didengungkan suara-suara Ilahi yang menggetarkan relung tanggung jawab. Dalam berbagai pendidikan dan pelatihan (Diklat), sering disampaikan tentang bagaimana kita memberikan pelayanan prima kepada publik, namun semakin banyak keluhan akibat dari pelayanan yang ketus dan tidak professional dalam bingkai seragam. Bahkan ada pula yang bertindak preman ketika berseragam. Seolah-olah dengan berseragam, mereka jauh lebih terhormat, lebih suci dan lebih berderajat dari manusia lainnya.
Masya Allah……