Saturday, April 10, 2010

KARAKTERISTIK BURUNG MALEO & MAMOA (Hewan Fossorial)

A. Klasifikasi
Famili Megapodiidae memiliki 22 spesies dalam 3 Genus utama, yaitu Megapodius, Macrocephalon dan Eulipoa. Dalam genus Megapodius, terdapat 20 spesies diantaranya Megapodius freycinent (gosong kelam), Megapodius bernsteinii (gosong Sula), Megapodius geelvinkianus (gosong Biak), Megapodius tenimberensis (gosong Tanimbar) dan lain-lain. Dalam genus tunggal Macrocephalon, terdapat Macrocephalon maleo (burung Maleo) yang hanya ada di Pulau Sulawesi (endemik Sulawesi). Dan dalam Genus tunggal Eulipoa, terdapat Eulipoa wallacei (mamoa/gosong Maluku) yang hanya terdapat di Maluku dan Maluku Utara (endemik Maluku).
Klasifikasi ilmiah
•Kerajaan: Animalia
•Filum : Chordata
•Kelas : Aves
•Ordo : Galliformes
•Famili : Megapodiidae
•Genus : Eulipoa (Ogilvie-Grant, 1893)
•Spesies: Eulipoa wallacei (gosong Maluku

Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Aves
Ordo : Galliformes
Famili : Megapodiidae
Genus : Macrocephalon (Sal. Muller, 1846)
Spesies : Macrocephalon maleo (Maleo)

B.Deskripsi Burung Maleo
Maleo Senkawor atau Maleo (Macrocephalon maleo) adalah sejenis burung gosong berukuran sedang, dengan panjang sekitar 55cm, dan merupakan satu-satunya burung di dalam genus tunggal Macrocephalon. Burung ini memiliki bulu berwarna hitam, kulit sekitar mata berwarna kuning, iris mata merah kecoklatan, kaki abu-abu, paruh jingga dan bulu sisi bawah berwarna merah-muda keputihan. Di atas kepalanya terdapat tanduk atau jambul keras berwarna hitam. Jantan dan betina serupa. Biasanya betina berukuran lebih kecil dan berwarna lebih kelam dibanding burung jantan.

C.Deskripsi Gosong Maluku
Burung gosong Maluku memiliki bulu berwarna coklat zaitun, kulit sekitar muka berwarna merah muda, iris mata coklat, tungkai kaki gelap, paruh kuning keabu-abuan, bulu sisi bawah abu-abu biru gelap dan tungging berwarna putih. Di punggungnya terdapat motif berbentuk palang dan penutup sayap yang berwarna merah gelap berujung abu-abu. Anak burung berwarna coklat dengan kaki dan paruh berwarna hitam.

D.Ekologi
Burung maleo (Macrocephalon maleo) adalah satwa endemik Sulawesi yang statusnya dilindungi undang-undang. Di Maluku ada juga jenis burung yang sama dan oleh masyarakat setempat disebut maleo/mamoa, tapi dari genus yang berbeda, Eulipoa. Kedua jenis ini statusnya di lindungi undang-undang, namun populasinya terus menurun dengan drastis karena degradasi dan fragmentasi habitat, serta dipercepat oleh eksploitasi terhadap telurnya. Degradasi habitat meliputi penurunan kualitas yang disebabkan oleh kerusakan hutan dan pengurangan luas akibat konversi hutan. Fragmentasi habitat disebabkan oleh konversi hutan di sekitar habitatnya sehingga menjadi terisolasi dan terpencar-pencar dalam kantong¬-kantong habitat yang kecil. Hal ini disebabkan oleh rencana tata ruang wilayah yang kurang memperhatikan aspek ekologi akibat kurangnya koordinasi antar sektor.
Komponen habitat burung maleo atau burung mamoa yang terpenting adalah lapangan tempat mengeramkan telurnya, karena burung maleo tidak mengerami sendiri telurnya, melainkan memendamnya didalam tanah atau pasir pada kedalaman tertentu di pantai atau di hutan dengan cara menimbun tanah dan serasah dengan tinggi satu setengah meter dan diameter sarang 3–4 meter tergantung jumlah pasangan yang bertelur. Hampir di pastikan bahwa semua jenis mamoa (Eulipoa wallacei atau Megapodius wallacei ) habitat bertelurnya di dekat pantai
Dalam seleksi habitat tempat bertelur, burung mamoa lebih merespon vegetasi dari aspek strukturalnya, yaitu kesinambungan horizontal (accsessibility), kesinambungan vertikal (tipe percabangan) dan penutupan permukaan tanah. Hal ini berkaitan dengan kemampuan terbangnya dan kebutuhannya akan media pergerakan (traveling), tempat istirahat, mengintai lapangan sarang (exploring), berlindung, bersembunyi dan melarikan diri dari predator. Penutupan permukaan tanah berhubungan dengan kebutuhan ruang untuk sarang, kemudahan menggali dan kebutuhan akan radiasi matahari untuk sarang yang bersumber panas matahari.
Burung mamoa sangat toleran terhadap perbedaan temperatur pengeraman yang bervariasi menurut lokasi, musim dan sumber panas. Perbedaan temperatur dalam batas-batas toleransi tersebut hanya mengakibatkan perbedaan masa pengeraman. Temperatur pengeraman telur burung maleo di Tanjung Maleo berkisar antara 32 – 38,5 °C (rata-rata 3 5,78 °C), sedangkan di Wahai 29,5 – 33 °C (rata-rata 30,77 °C). Temperatur optimal untuk pengeraman telur burung mamoa adalah 34 °C. Berkaitan dengan temperatur, faktor kunci yang menentukan cocok tidaknya suatu tempat sebagai sarang adalah keberadaan sumber panas pada kedalaman tanah yang dapat dicapai oleh induk maleo/mamoa.
Aktivitas bertelur dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu sebelum bertelur, saat bertelur dan sesudah bertelur. Aktivitas sebelum bertelur meliputi eksplorasi lapangan sarang, baik dari atas pohon maupun di permukaan tanah, mencari makan, bersosialisasi dan membuat sarang palsu. Aktivitas pada saat bertelur meliputi penggalian sarang asli, peletakan telur dan penimbunan sarang. Aktivitas sesudah bertelur meliputi beristirahat, mencari makan dan kembali ke hutan tropis dataran rendah. Dalam melakukan aktivitas di habitat tempat bertelurnya, burung maleo memiliki preferensi terhadap jenis-jenis pohon tertentu untuk tempat bertengger. Jenis-jenis pohon yang disukai adalah yang memiliki percabangan horizontal dan bertingkat-tingkat serta tajuknya yang tidak terlalu lebat. Dalam pergerakan dan pengintaian, burung maleo/mamoa lebih banyak menggunakan strata C (4-20 m).
Feeding territory burung maleo/mamoa bukan di lapangan persarangan tetapi di dalam hutan tropis dataran rendah. Meskipun demikian, jika di lapangan persarangan tersedia makanan, maka burung maleo/mamoa akan mencari makan, baik sebelum bertelur maupun sesudah bertelur. Burung maleo/mamoa termasuk omnivora atau pemakan segala. Makanannya meliputi buah-buahan, biji-bijian, serangga, invertebrata lantai hutan, siput dan kepiting. Burung maleo/mamoa mencari makan di lantai hutan dengan cara mencakar-cakar atau mengais serasah. Burung maleo/mamoa juga mencari makan di tepi-tepi sungai, rawa dan danau.
Alokasi waktu oleh burung maleo/mamoa untuk berbagai aktivitas di habitat tempat bertelurnya sangat tergantung pada faktor internal, yaitu kebutuhan individu (seperti makan, minum dan istirahat) dan faktor eksternal berupa kondisi bio-fisik (tekstur tanah dan ketersediaan makanan) serta intensitas gangguan. Dari proporsi waktu yang dialokasikan pada setiap strata pohon, selama berada di habitat tempat bertelurnya, burung maleo/mamoa menghabiskan 75 % waktunya di lantai hutan (strata E) atau dapat dikatakan bersifat teresterial daripada aerial (volans). Burung ini tidak mengerami telurnya, tapi menyerahkan urusan penetasan telur pada bumi dan panas matahari. Telurnya dikeluarkan pada malam hari, dibenamkan di dalam pasir/tanah. Anaknya yang baru menetas memerlukan waktu tiga hari bahkan ada yang lebih untuk muncul ke permukaan tanah. Anak maleo yang telah berhasil ditetaskan oleh alam, harus berjuang sendiri keluar dari dalam tanah sedalam kurang lebih 50cm (bahkan ada yang mencapai 1 m). Anak yang baru keluar dari dalam pasir/tanah tersebut, biasanya juga pada malam hari, langsung bisa berlari atau terbang (tanpa asuhan induknya) mencari perlindungan.
Ukuran telur maleo dan mamoa tidak seperti layaknya ukuran telur ayam. Maleo dan mamoa memiliki ukuran telur yang besar, bisa mencapai 5 kali lebih besar dari telur ayam. Beratnya pun mencapai 17% dari berat tubuh sang betina (rata-rata 232 gr). Dari ukuran telur sebesar itu dihasilkan kuning telur yang mencapai 67% dari total isi telur.

E.Bentuk dan Dimensi Sarang
Sarang adalah tempat perlindungan yang sangat vital. Mulai dari saat induk bertelur hingga membesarkan anak mereka. Pembuatan sarang paling rumit dilakukan oleh jenis burung seperti cinenen, perenjak dan burung madu karena memerlukan material khusus berupa benang laba-laba dan bulu burung untuk merangkai dan menjahit sarangnya. Sarang gantung khususnya sarang anyaman adalah rumah burung yang memiliki arsitektur paling mengagumkan. Jenis sarang ini biasanya menggantung pada ujung cabang, daun atau diantara dua ranting pohon. Bentuknya, beragam. Ada yang bulat dengan satu lobang masuk, lonjong atau seperti tabung reaksi. Apa pun bentuknya, hampir semua burung menganyam sarang gantung dengan rerumputan, dan cara menganyamnya bergerak dari satu sisi ke sisi lainnya, menusukkan helai rumput lewat celah dinding sarang, lalu menariknya hingga tembus dari sisi lain. Bahkan ada beberapa jenis burung yang menggunakan air liurnya untuk membuat sarang.
Sementara sarang paling aneh adalah milik burung suku gosong dan maleo. Maleo jantan menyiapkan gunungan tempat bertelur. Dia mencakar tanah untuk membuat lubang sedalam setengah meter (m). Lalu ditimbun dengan dedaunan. Hasilnya, berupa onggokan berdiameter 5 m dan tinggi 1 m. Pada gunungan pasir ini si betina menggali lubang untuk menempatkan telur mereka. Telur-telur itu pun ditimbun kembali dengan pasir dan kemudian ditinggalkan begitu saja hingga menetas sendiri.
Berbeda dengan gosong tanimbar (Megapodius tenimberensis). Mereka membuat inkubatornya (sarang) di dekat pantai atau hutan bakau. Bentuknya, gundukan seperti kerucut yang tersusun dari tanah basah, pasir putih bercampur daun-daun busuk dan basah. Tinggi gundukan itu bisa mencapai 3 m dengan diameter 5 m. Padahal gosong Maluku (burung mamoa) hanya menggali lubang di dalam pasir, meletakkan telurnya dan menutupnya kembali tanpa perlakuan lebih lanjut.
Burung mamoa membuat sarang pengeraman telurnya dengan bentuk, dimensi dan tipe sedemikian rupa sehingga dapat memberikan fungsi pengeraman yang efektif dan memberikan perlindungan serta kemudahan bagi anak mamoa setelah menetas agar dapat mencapai permukaan tanah dengan selamat. Berdasarkan distribusi letaknya, sarang pengeraman telur burung mamoa dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu (1) sarang tunggal dan (2) sarang komunal. Sarang komunal umumnya dibuat di lokasi yang arealnya terbatas. Berdasarkan letaknya terhadap benda lain, sarang pengeraman telur burung maleo dapat dikelompokan menjadi 6 tipe, yaitu : (1) sarang di tempat terbuka; (2) sarang dibawah naungan tajuk; (3) sarang dibawah lindungan pohon tumbang; (4) sarang dibawah naungan tebing atau batu; (5) sarang disamping akar; dan (6) sarang diantara banir. Sarang di tempat terbuka umumnya ditemukan di habitat bersumber panas matahari, sedangkan tipe sarang lainnya umumnya dijumpai di tempat habitat bertelur bersumber panas geothermal. Tipe sarang yang paling disukai oleh burung maleo di dalam hutan berturut-turut adalah : tipe sarang diantara banir pohon, dibawah pohon tumbang, di samping sistem perakaran, dibawah naungan tajuk dan yang paling tidak disukai adalah di tempat terbuka. Sementara itu, di Tanjung Maleo 100% sarang yang dipergunakan burung maleo dibuat di tempat terbuka. Sama halnya dengan tempat persarangan di kecamatan Galela, hampir semua sarang yang dibuat berada di tempat terbuka.

F.Karakteristik Morfologi Burung Maleo dan Mamoa
-Memiliki bentuk kaki yang kuat, besar dan kokoh untuk mencakar dan menggali pasir/tanah.
-Memiliki struktur kaki yang tebal dengan cakar yang kuat untuk menimbun pasir/tanah.
-Khusus pada burung maleo, memiliki kemampuan mendeteksi temperatur pasir/tanah berupa tonjolan yang ada pada kepalanya.
-Anak burung mamoa atau maleo telah memiliki kemampuan untuk terbang dan berlari cepat pada saat keluar dari sarangnya, tanpa asuhan dari induknya.

DAFTAR PUSTAKA

Heij C. J. dan Rompas M. 1997. Ekologi Megapodius Sulawesi-Maluku-Nusa Tenggara. Institut Pertanian Bogor.
Lambert, F. R. 1994. Avivauna of Bacan, Kasiruta and Obi, North Moluccas. Kukila 7 (1) 1.9
MacKinnon, J. (1981). Methods for the conservation of maleo birds, Macrocephalon
maleo on the island of Sulawesi, Indonesia. Biological Conservation 20, 183-193.