Sunday, October 3, 2010

PELAYANAN KESEHATAN, ANTARA HARAPAN DAN ANGAN-ANGAN

ZULKIFLI AHMAD
DOSEN PADA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (FKIP)
UNIVERSITAS KHAIRUN TERNATE


WARNA PUTIH, sering kita analogikan dan persepsikan sebagai lambang kesucian, yang berarti bersih dan terhindar dari kotoran. Menggunakan sesuatu yang berwarna putih, berarti komitmennya adalah kita mesti rajin membersihkannnya. Alasannya karena warna putih sangat mudah kotor (rentan). Bagi mereka yang suka warna putih, katanya orang tersebut cinta dan suka dengan kebersihan. Bahkan lahirlah pemikiran, bahwa mereka adalah orang-orang yang “bersih“.
Sungguh pemikiran yang menurut saya terlalu berlebihan. Apalah artinya warna baju yang kita pakai, apabila kulit kita masih tetap saja hitam? Seperti kata pepatah usang “baju berbeda, belum tentu isi baju akan berbeda pula”. Seputih apapun baju yang kita kenakan, namun belum tentu jiwa-jiwa yang berada dibalik baju itu, suci dan bersih seputih baju.
Makna dari pepatah tersebut di atas, membuat kita berpikir bahwa apapun warna pada baju yang kita pakai, kulit kita senantiasa selalu hitam. Seragam apapun yang kita kenakan, kulit kita akan tetap sama. Karena hakikat kita semua adalah berasal dari sesuatu yang hitam dan dianggap kotor yakni “tanah”.
Bukan berarti karena hakikatnya kita telah kotor, lantas kita melupakan kebersihan, dan bahkan tidak memperdulikannya lagi. Tidak sahabat ! sekali-kali tidak!. Yang namanya kebersihan, selalu kita jaga sesuai dengan tuntunan Agama. Namun jangan karena alasan demi kebersihan, lantas membuat kita lupa akan perikemanusiaan, lupa akan siapa yang lebih tua, tidak sadar akan hakikat kita, bahkan merasa diri lebih bersih dari orang lain.
Ada peristiwa dimana mereka yang berpakaian putih (orang bersih dan suci) tidak mau menyentuh luka pada kaki yang hampir membusuk dan bernanah, dengan alasan jijik….?? Di beberapa ruangan, dimana pengalas kaki bagi mereka yang berpakaian putih dihalalkan, sedangkan bagi orang lain “haram”. Pertanyaan mendasar yang perlu kita jawab adalah apakah baju warna putih yang dikenakan-yang berarti suci itu-berbeda dengan kita? Apakah dengan berseragam, kita harus bersikap dan bertingkah beda antar sesama? Seolah-olah mereka seperti manusia suci yang tidak pernah tersentuh oleh kuman penyakit. Seolah-olah mereka adalah manusia yang memiliki kekuatan super, dan senatiasa merasa diperlukan/dibutuhkan, sehingga kita tidak boleh memandang mereka sebelah mata. Dan yang lebih buruk lagi, seolah-olah mereka lebih terhormat dan lebih mulia dari kita, masyarakat biasa.
Saya kemudian berpikir bahwa mungkin sebagian dari mereka yang berpakaian putih itu tidak banyak tahu tentang betapa pentingnya pelayanan yang baik terhadap tingkat kesembuhan seseorang. Dewasa ini, banyak para ilmuwan, kimiawan dan dokter yang gemar melakukan penelitian kualitatif dan menghubungkan antara pengaruh pelayanan terhadap tingkat kesembuhan pasien. Penelitian kuantitatif yang selama ini digunakan, dengan menggunakan angka dan skor-skor tertentu, sudah banyak ditinggalkan. Mereka mulai beralih pada penelitian yang ada hubungannya dengan pelayanan.
Begitu besar arti pelayanan kepada seseorang, sehingga membutuhkan kinerja yang baik tanpa keluhan dan ketusan. Mereka digaji oleh Negara untuk melayani dan memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Selain sebagai Abdi Negara, mereka juga sebenarnya hanyalah “pelayan” bagi masyarakat dengan sebutan “perawat”. Tidak ada aturan yang menyatakan bahwa pelayanan yang baik hanya diberikan kepada orang-orang/golongan tertentu saja. Siapapun yang datang meminta pertolongan medis, entah itu Pejabat daerah, Kontraktor, Dosen, Guru, Polisi bahkan tukang Ojek maupun tukang Bakul harus senantiasa dilayani dengan penuh sopan, ramah dan tidak ketus.
Terkadang jika kita berhadapan dengan petugas jaga malam, berbeda dengan petugas jaga siang. Ketika kita melapor keadaan pasien kepada petugas jaga malam, selalu saja ada komentar dan bertingkah ketus karena mungkin mengganggu istirahat atau kegiatan nonton tv mereka. (ini petugas jaga ataukah petugas tidur? Kalau mau tidur/nonton tv, mending di rumah saja!).
Tidak semestinya kita merasa lebih dari manusia lainnya, hanya karena pakaian yang kita kenakan. Tidak semestinya kita berbuat ketus karena alasan lelah/capek selama bertugas. Itu adalah bagian dari profesi dan sebuah konsekuensi logis. Di antara kita, siapakah yang ketika bekerja tidak pernah lelah/capek? Yang namanya capek, semua orang pasti merasakannya (kecuali bagi mereka yang terganggu sarafnya). Jika memang sudah tak sanggup lagi melaksanakan tugas dan tanggung jawab karena sering merasa capek/lelah, saran saya lebih baik segera mengundurkan diri dari PNS agar terbebas dari rasa lelah/capek yang kini membelenggu.
Namun tidak semua perawat memberikan pelayanan buruk, ada beberapa juga yang sopan, ramah dan tidak ketus dalam bertugas. Andaikan semua perawat seperti ini, tidak ada tulisan bahkan keluhan seperti ini. Kembali lagi kepada person, bahwa karakteristik manusia sungguh bervariasi. Kita hanyalah manusia biasa, bukan Malaikat ataupun manusia Super.
Untuk membentuk manusia Indonesia yang sehat, terletak pada kesadaran diri masing-masing untuk bersikap dan bertindak yang sehat. Semoga warga yang sehat, akan tercipta ukhuwah yang sehat. Dan ukhuwah yang sehat akan tercipta kota madani yang warahmah wabarkah, amin….
Bukan Sekedar Angan-Angan Dalam Kenyataan, Tetapi Angan-Angan Yang Harus Dinyatakan…