Monday, December 27, 2010

ANTARA ASA DAN RASA

Terdiam di pojok kamar, dalam kebisuan yang menghangat
Hanya rinai hujan membisik lembut dan menari di atas genteng
Khayalku menari-nari mencoba merangkai masa yang berlalu dan menghadang
Tanpa sadar, banyak lakon yang telah terjadi, menggurat di sulcus dan gyrus-ku
Menyingkap tabir kehidupan dalam diam tanpa jiwa

Semakin terdiam,, dan terdiam lagi....
Segala impian tersurut dan kembali ke bumi
Ketika wajah-wajah itu memenuhi sudut-sudut ruang pikirku
Keram seluruh tubuh ini, karam impianku, dan terbunuh jasad ini
Kalian yang memiliki segalanya, kalian-lah yang menentukan aku
Bukan DIA, bukan pula MEREKA, akupun tak tahu
Kalian dan aku sama saja, dari jiwa dan raga yang selalu hitam
Mengapa kalian begitu tinggi bag langit, sekeras bag tembok batu, dan selicin belut putih
Asa yang dulu ada, kini hilang berganti kesuraman
Jiwa yang dulunya besar, kini mengerdil dan kecil
Kalian terlalu besar untuk ku peluk, terlalu suci untuk kugamit, dan terlalu hebat untuk ku geluti

Masih adakah asa yang tersisa dan pulangkan rasa itu??
Ataukah ada insani tulus ‘kan datang dan menggamit tangan ini??
Biarlah waktu yang menjadi hakim
Keputusan-Mu adalah wahyu bagiku
Agar tak ada lagi kesendirian dengan mengutuk hari
Cuma Engkau yang selalu ada di dekat Nadiku
Yang selalu mengetuk dan mendobrak kelamnya hati
Semoga .....

Yogyakarta, Desember 2010

Wednesday, December 8, 2010

Sistem Gerak Dan Pewarnaan Tulang pada Katak pohon (Polypedates leucomystax) dan Kodok (Bufo melanosticus)

1.1. Dasar Teori
Amphibia tergolong hewan poikiloterm. Kulitnya (cutis) lembab berlendir, terdiri dari dermis dan epidermis. Permukaan kulit yang selalu lembab, memberikan suplai oksigen secara difusi dalam sistem pernapasan katak. Warna kulit bermacam-macam karena adanya pigmen di dalam dermis, tepat di bawah epidermis. Amphibia memiliki kulit dengan permeabelitas tinggi dan memiliki kelenjar. Pada Amphibia, kulit merupakan organ yang penting. Kulit katak memiliki sifat permeabilitas, dimana air dan gas dapat “keluar-masuk”. Kulit katak juga berfungsi sebagai alat pernafasan dan harus lembab sehingga tidak kekeringan. Oleh karena itu katak harus mengembangkan adaptasi yang berhubungan erat dengan sifat dari kulit mereka (Duelman & Trueb, 1986).
Untuk mengurangi kemungkinan kulit mengering maka adaptasi yang dilakukan adalah; (1) Merapatkan tubuh untuk mengurangi luas permukaan yang bisa mengering, (2) hidup dekat dengan sumber air, (3) berlindung di bawah tumbuhan teduh atau permukaan batu, (4) menutupi kulit dengan bahan licin, dan (5) masuk ke dalam tanah.
Mempunyai dua lubang hidung yang berhubungan dengan rongga mulut dan disebut koane. Sedangkan antara rongga mulut dan rongga telinga dihubungkan dengan saluran eustachius. Endoskeleton mempunyai columna vertebralis (ruas-ruas tulang belakang). Telur amphibia tidak memiliki cangkang dan akan kehilangan air dengan cepat di udara kering. Fertilisasi terjadi secara eksternal pada sebagian besar spesis dengan jantan mendekap betina dan menumpahkan spermanya di atas telur-telur yang dikeluarkan oleh betina. Amphibi umumnya bertelur di kolam, rawa, atau paling banyak di lingkungan yang lembab. Bergantung pada spesis, baik jantan maupun betina bisa mengerami telur di punggungnya, dalam mulut, atau bahkan di dalam perutnya (Duelman and Trueb, 1986).
Banyak amphibia memperlihatkan perilaku sosial yang kompleks dan beranekaragam, khususnya selam musim kawin. Katak umumnya makhluk yang diam, tetapi banyak spesis yang mengelarkan suara-suara untuk memanggil pasangan kawin selam musim kawin. Jantan bisa bersuara keras untuk mempertahankan daerah kawin atau untuk menarik perhatian betina.
Dua pasang anggota gerak untuk berenang dan berjalan, yang belakang relatif panjang dan digunakan untuk melompat. Alat gerak aktif berupa otot yang berbeda dengan miotom pada ikan. Mempunyai tulang rusuk (costae), tulang dada (sternum), selangka (klavikula), belikat (skapula), korakoid, dan supraskapula. Anggota gerak berpasangan bagian depan (exterimitas anterior) terdiri dari lengan atas (humerus), lengan bawah (radius-ulna), pergelangan tangan (metacarpalia), telapak tangan (carpalia), dan jari-jari (phalankx). Anggota gerak berpasangan bagian belakang (exterimitas posterior) terdiri atas paha (pes-termodifikasi dari femur), betis (manus-termodifikasi dari tibia fibula), pergelangan kaki (metatrsalia), telapak kaki (tarsalia), dan jari-jari (phalanx). Terdapat selaput renang berupa kulit tipis diantara jari-jari (Duelman and Trueb, 1986).
a. Habitat dan Persebaran
Amphibia muncul pada pertengahan periode Jurassic, pra era Paleozoik sebagai vertebrata yang tertua. Kebanyakan Amphibia adalah hewan tropis, karena sifatnya yang poikiloterm atau berdarah dingin. Amphibia memerlukan sinar matahari untuk mendapatkan panas ke tubuhnya, karena tidak bisa memproduksi panas sendiri. Oleh karena itu banyak amphibia yang ditemukan di wilatah tropis dan sub tropis, termasuk di Indonesia.
Amphibia umumnya merupakan makhluk semi akuatik, yang hidup di darat pada daerah yang terdapat air tawar yang tenang dan dangkal. Tetapi ada juga amphibia yang hidup di pohon sejak lahir sampai mati, dan ada juga yang hidup di air sepanjang hidupnya. Amphibia banyak ditemukan di areal sawah, daerah sekitar sungai, rawa, kolam, bahkan di lingkungan perumahan pun bisa ditemukan.
Katak pohon diketahui menyebar di India , Burma, Tiongkok selatan, Kamboja, Laos, Vietnam, Thailand, Semenanjung Malaya, Nikobar, Mentawai, Sumatera, Kalimantan, Filipina, Sulawesi, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Pulau Sumba kecil hingga ke Timor. Menurut Iskandar (2002), Anura yang terdapat di pulau Jawa terdiri dari 5 Famili, yaitu Bufonidae, Microhylidae, Megophryidae, Ranidae, dan Rhacophoridae. Meskipun pada akhirnya ada 2 famili lain yang juga ditemukan di Indonesia yaitu Bombinatoridae dan Hylidae.
Ordo Anura terdiri dari sekitar 4000 spesies yang tersebar di seluruh dunia. Sebenarnya, keberagaman Anura di dunia melebihi jumlah nama (common name) yang dapat digunakan untuk membedakan mereka. Karakter pembeda yang terdapat pada Anura adalah ketiadaan ekor. Anura berasal dari bahasa Yunani yaitu ”A” yang berarti tidak atau tanpa dan ”Uro” yang berarti ekor (Pough, et al., 1998).
b. Karakteristik
Sebagian besar Anura memiliki tubuh pendek, kepala besar dan empat tungkai yang berkembang dengan baik. Panjang relatif dari tungkai depan dan tungkai belakang Anura membuatnya dikelompokkan dalam kategori lokomotor. Spesies dengan tungkai belakang yang pendek umumnya termasuk dalam golongan pelari (runner), pejalan (walker) atau pelompat (hopper) sedangkan mereka yang memiliki tungkai belakang panjang termasuk dalam golongan perenang (swimmer) atau pelompat (jumper: dalam sekali lompatan jarak yang ditempuh 10 kali panjang tubuh atau lebih). Di antara para pelompat, tungkai belakang dengan otot yang besar dapat digolongkan sebagai pelompat yang baik. Tungkai belakang yang panjang juga dihubungkan dengan katak pemanjat (Pough, et al., 1998).
Anura memiliki ciri umum morfologi yang mudah dikenali. Katak (Ranidae) dan kodok (Bufonidae) mudah dikenal dari bentuk tubuhnya yang tampak seperti berjongkok dengan memiliki empat anggota gerak (tetrapoda) untuk melompat (saltation). Struktur tulang Anura juga telah termodifikasi dengan tidak sempurna menjadikannya ringan memudahkan untuk melompat. Lehernya tidak jelas dan tidak memiliki ekor. Mata umumnya bulat dengan pupil horizontal atau vertikal, dan memiliki kelopak mata yang dapat ditutup. Mata Anura mampu membedakan warna, namun tidak mampu membedakan bentuk. Alat gerak depan (extremitas anterior) memiliki empat jari sedangkan alat gerak belakang memiliki lima jari (pentadactylus), dengan selaput renang (webb) yang terdapat antara jari-jari serta bervariasi pada tiap jenisnya. Alat gerak belakang berkembang lebih baik, umumnya lebih panjang dan kuat daripada yang depan. Tekstur kulit bervariasi dari halus pada beberapa katak dan kasar berupa tonjolan-tonjolan kasar pada kodok. Kulit tidak memiliki sisik, kulit selalu lembab dan basah serta bersifat permeabel (Duelman and Trueb, 1986; Iskandar, 2002).
Ciri-ciri umum dari anggota ordo Anura adalah; (1) memilliki anggota gerak yang secara anamotis pentadactylus, kecuali pada apoda yang anggota geraknya tereduksi. (2) tidak memiliki kuku dan cakar, tetapi ada beberapa anggota amphibia yang pada ujung jarinya mengalami penandukan membentuk kuku dan cakar, contoh Xenopus sp., (3) kulit memiliki dua kelenjar yaitu kelenjar mukosa dan atau kelenjar berbintil (biasanya beracun), (4) pernafasan dengan insang, kulit, dan paru-paru, (5) mempunyai sistem pendengaran, yaitu berupa saluran auditory dan dikenal dengan tympanum, (6) Jantung terdiri dari tiga lobi ( 1 ventrikel dan 2 atrium), (7) mempunyai struktur gigi, yaitu gigi maxilla dan gigi palatum, (8) merupakan hewan poikiloterm (Duellman and Trueb, 1986).
Pertahanan diri pada Anura antara lain escape (melarikan diri) dengan cara melompat atau berenang, yang kedua adalah melakukan kamuflase sesuai dengan habitatnya (contoh seperti jenis Megophryidae yang memiliki warna seperti daun kering atau pada jenis Rhacophoridae yang hidupnya di pohon-pohon tinggi dan memiliki warna yang sama dengan daun), yang ketiga adalah chemical defense yaitu dengan adanya kelenjar granuler (mucosa dan racun) pada kulit, yang keempat adalah aposematisme (misal pada jenis Dendrobatidae yang biasanya berwarna mencolok (aposematik), menggembungkan badan dan mengangkat kaki belakang supaya kelihatan lebih besar dan menyulitkan ketika akan dimakan serta yang terakhir adalah dengan menggigit (misalnya Asterophrys turpicola dari Papua) (Zug, 1993).
1.2. Alat dan Bahan
1) Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini terdiri dari; Akuarium kering, pisau bedah, Pipet tetes, Botol, Gelas ukur, tabung reaksi, sebagai tempat perendaman objek pengamatan, gunting, jarum pentul, cawan petri, papan section, kertas miligram, kamera digital, lembar pengamatan.
2) Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini terdiri dari; katak pohon (Polypedates leucomystax) dan kodok (Bufo melanosticus), larutan chloroform, alkohol 96%, aseton, gliserin dan KOH dengan perbandingan masing-masing 4:1, 1:1, dan 1:4, pelarut (air), larutan alcian blue dan alizarin red masing-masing dengan konsentrasi 0,1 %, larutan asam asetat dengan volume 1 ml., larutan gliserin murni.
1.3. Tujuan Praktikum
• Mengamati perbedaan sistem gerak pada kodok dan katak pohon.
• Mengetahui perbedaan anatomi dan struktur morfologi kodok dan katak pohon.
• Mempelajari perbedaan pewarnaan tulang dan tulang rawan pada kodok dan katak pohon.
1.4. Prosedur Kerja
 Kegiatan Pertama
- Mengamati pergerakan katak pohon (Polypedates leucomystax) dan kodok (Bufo melanosticus) dalam akuarium kering. Kemudian kami bius dengan larutan chloroform. Setelah itu kami ukur tubuh katak pohon (Polypedates leucomystax) dan kodok (Bufo melanosticus) tersebut, dengan menggunakan kertas miligram. Kemudian kami kuliti bagian metacarpalia dan metatarsalia. Selanjutnya bagian yang telah dikuliti tersebut, kami potong, dibersihkan dan dimasukkan ke dalam botol yang terdapat larutan alkohol 96 %.





 Kegiatan kedua (2 hari setelah kegiatan pertama dilakukan)
- Kami masukkan ke dalam larutan aseton selama 2 hari.
 Kegiatan ketiga
- Membuat larutan alcian blue dan alizarin red.
- Diamati
1.4. Hasil dan Pembahasan
 Hasil
• Pengamatan Gerak
- Katak pohon (Polypedates leucomystax) melompat lebih jauh dibandingkan dengan kodok (Bufo melanosticus).
• Pengukuran tubuh
- Katak pohon (Polypedates leucomystax) berukuran lebih kecil dibandingkan dengan kodok (Bufo melanosticus).
• Pengamatan pewarnaan
- Tulang rawan berwarna biru, sedangkan tulang berwarna merah. Pada katak pohon (Polypedates leucomystax), ujung jari kaki maupun tangan membentuk bangunan berbentuk huruf T atau Y. Pada Bufo melanosticus, ujung jari tidak melebar, dan tidak mempunyai discus intercalaris.
 Pembahasan
Morfologi katak berbeda tergantung pada habitatnya. Katak pohon seperti famili Rhacophoridae memiliki piringan (discus) pada ujung jarinya untuk membantu dalam memanjat. Katak akuatik atau semi-akuatik seperti famili Ranidae memiliki selaput diantara jari-jarinya untuk membantu dalam berenang. Katak terestrial tidak memiliki selaput ataupun piringan, tetapi cenderung memiliiki warna yang menyerupai serasah atau lingkungan sekelilingnya, seperti pada genus Megophrys. Ukuran SVL (snout vent length) Anura berkisar dari 1-35 cm, tetapi kebanyakan berkisar antara 2-12 cm. Katak dan kodok tersebar pada seluruh benua kecuali pada kedua kutub dan daerah gurun yang sangat kering, dengan lebih dari 80% dari seluruh jenis terdapat di daerah tropik dan sub-tropik.
 Family Bufonidae
Bufonidae memiliki bentuk tubuh gemuk, kekar, dengan empat tungkai dengan jari-jari yang melebar sebagian atau bebas dan ujung jarinya tidak membentuk kuku, pada banyak genera membentuk huruf “T”. Tipe gelang bahunya arciferal, epicoracoidnya saling tumpang tindih dan sacral diapophysis melebar.
 Family Rhacophoridae
Tipe gelang bahu firmisternal, vertebrae bertipe procoel. Ada elemen intercalar pada digiti. Amplexus bertipe axillary. Ukuran SVL tubuh bervariasi kurang dari 20 mm hingga lebih dari 120 mm. Sebagian besar habitatnya arboreal dan pada ujung jari kakinya terdapat discus. Tergolong dalam katak pohon dunia lama. Meskipun begitu, ada juga Rhacophoridae yang terrestrial dan disk-nya tidak berkembang.






Gambar 2. Hasil pengamatan tungkai katak dan kodok di bawah mikroskop.

DAFTAR PUSTAKA

Duellman, W.E., and L. Trueb. 1986. Biology of Amphibians. McGraw – Hill Book Company. New York.

Hildebrand, M. 1982. Analysis of vertebrate structure, second edition. John Willey & Sons. New York.

Iskandar, D.T., and E. Colijn. 2000. Preliminary Checklist of Southeast Asian and New Guinean Herpetofauna: Amphibians. Treubia 31 (3): 1-133.

Jasin, M. 1984. Sistematika Hewan (Invertebrata dan vertebrata). Surabaya: Sinar Wijaya.

Pough, F.H, et. al. 1998. Herpetology. Prentice-Hall,Inc. New Jersey. Pp. 37-131

Zug, George R. 1993. Herpetology : an Introductory Biology of Ampibians and Reptiles. Academic Press. London, Pp : 357–3.

Tuesday, December 7, 2010

GENDERISASI, PERSPEKTIF ORGASME

Selama ini perempuan pasif dalam seksual....
Ketika seorang wanita berbicara tentang seksual atau suatu ucapan yang berbau seks, maka akan ada perlekatan bahwa dia adalah seorang perempuan yang tidak baik.....Atau apabila seorang perempuan mengungkapkan isi hatinya dan mengekspresikan daya seksual mereka, langsung diintimidasikan dengan hal-hal yang negatif. Ruang terbatas yang diberikan kepada mereka menjadi pembatas untuk bekerja, dan berbuat. Bukan saja di dalam kehidupan yang serba gemerlap ini, namun perlakukan “ketidakadilan” tersebut terjadi juga di “tempat tidur”. Laki-laki sering menjadikan mereka sebagai objek, bukan sebagai subjek.
Kaum laki-laki seringkali merasa memiliki “hak istimewa” untuk membuat berbagai penilaian atas tubuh perempuan. Penilaian laki-laki umumnya hanya berkisar pada wujud dan ukuran buah dada, bentuk pinggul, mulusnya paha, warna dan seksinya bibir, gaya dan panjang rambut, dan lain sebagainya yang bersifat biologis. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana bila giliran perempuan yang mengekspresikan pengalaman seksnya? Jawabnya adalah Tabu. Itulah jawaban yang sering kita dengar di tengah masyarakat, khususnya di Indonesia, yang masih kuat memegang teguh budaya ketimuran dan doktrin agama. Apalagi seorang perempuan yang membicarakan pengalaman puncak kenikmatan seksnya atau orgasmenya di depan publik. Selama ini masih ada anggapan kuat bahwa perempuan tidak pantas membicarakan kenikmatan seksnya secara terbuka. Tabu atau pantangan adalah suatu pelarangan sosial yang kuat terhadap kata, benda, tindakan, atau orang yang dianggap tidak diinginkan oleh suatu kelompok, budaya, atau masyarakat. Pelanggaran tabu biasanya tidak dapat diterima dan dapat diaggap menyerang. Beberapa tindakan atau kebiasaan yang bersifat tabu bahkan dapat dilarang secara hukum dan pelarangannya dapat menyebabkan pemberian sanksi keras. Tabu dapat juga membuat malu, aib, dan perlakuan kasar di lingkungan sekitar.
Berbagai kalangan menilai bahwa perempuan merupakan suatu misteri yang sulit ditentukan. Salah satu kesulitan yang tidak dapat diukur adalah kehadiran orgasme dalam kehidupan seksual perempuan. Sekitar 70% perempuan di dunia, tidak mampu melakukan orgasme. Orgasme pada perempuan, hanya terjadi pada 3 dari 10 orang perempuan saja. Ini membuktikan bahwa betapa sulitnya perempuan mencapai titik klimaks (puncak kenikmatan) yang sering diidolakan itu. Berbeda dengan laki-laki, hampir 70% mencapai orgasme dengan sempurna.
Terkadang kita sering melupakan pentingnya orgasme bagi perempuan. Ketika kita diperhadapkan dengan kelembutan dan kehangatan perempuan, tak pelak sisi arogansi kita sering dikedepankan. Atas nama cinta dan kasih sayang, kita mengelukan dan menggembar-gemborkan kepuasan lahiriah. Namun dibalik itu semua, ada “penjajahan terselubung” yang sulit untuk diungkapkan. Titik G-Spot yang selama ini digembor-gemborkan, ternyata hanya sebagai simbol pengetahuan bagi kaum adam semata. Aplikasinya, tetap tidak merubah keadaan. Mayoritas perempuan, masih terbelenggu dalam ketidakpuasan. Apakah titik G-Spot tersebut sulit ditemukan? Tidak. Lalu, apakah dari perempuan sendiri yang sulit mencapai klimaks??Sekali lagi tidak. Lantas, bagaimana perempuan harus mencapai klimaks itu??
Ada 3 faktor pemicu orgasme perempuan:
1. Mempunyai Relasi yang sama. Kedudukan antara perempuan dan laki-laki yang sederajat/setara, dapat memicu terjadinya orgasme pada seorang perempuan. Keinginan-keinginan perempuan dapat diungkapkan, komunikasipun dapat berjalan dengan lancar (dua arah, bukan searah). Sehingga diharapkan, dengan membangun kesetaraan di antara pasangan, dapat memicu terjadinya orgasme perempuan.
2. Tahu tentang seluk-beluk diri dan tubuhnya. Seorang wanita yang mengetahui keadaan diri dan tubuhnya, akan semakin membuat dia paham akan kebutuhan setiap inchi dari tubuhnya. Kondisi demikian dapat memicu terjadinya orgasme. Karena bagi perempuan yang tahu akan tubuhnya, maka kenikmatan seksual dapat terpenuhi. Sehingga pendidikan seksual bagi kaum perempuan juga berperan dalam menigkatkan orgasmenya.
3. Tidak berada dalam tekanan atau tindak kekerasan. Jelaslah bahwa apabila seorang perempuan berada dalam tekanan, maka dia tidak dapat menikmati aktivitas seksual dengan sempurna.
Faktor-faktor penghambat orgasme perempuan adalah:
1. Wanita yang telah dipoligami. Mereka akan merasa bahwa tubuh, cinta dan sayang mereka telah terbagi. Tidak utuh lagi, sehingga kenikmatan seksual mereka tidak tereksplorasi dengan baik.
2. Tidak ada kesetaraan. Dominasi laki-laki bukan saja dalam kehidupan sehari-hari, tetapi berlanjut di “tempat tidur”. Hal ini mempengaruhi perempuan untuk berkomunikasi dengan pasangannya. Sehingga dapat mengurangi kemampuan orgasme mereka, bahkan hilang sama sekali. Banyak perempuan yang merasa bahwa mereka hanya dijadikan sebagai tempat pemuas nafsu saja, tidak lebih dari itu.
Kaitannya dengan kata dominasi, maka ada dominasi dari sistem patrilinial yang sangat terasa dalam hidup dan kehidupan. Termasuk kemampuan dominasi manusia terhadap mahluk hidup lainnya. Alam ini sedang “diperkosa” oleh dominasi kebudayaan yang maskulin. Sehingga eksploitasi dan eksplorasi terhadap alam, dapat kita saksikan di setiap penjuru tanah air. Ini membuktikan betapa kegiatan “pemerkosaan” terhadap alam, sering dilakukan. Tak ada rasa penyesalan sedikitpun atas perlakuan ini. Budaya dominasi terhadap sesuatu, menjadikan kita merasa lebih baik daripada mahluk hidup lainnya. Perilaku konsumtif juga turut menjadi faktor pemicu dan pendukung atas kegiatan ini. Peradaban yang kita bangga-banggakan hanya menjadi kamuflase dengan eksistensi perilaku oknum tertentu.
Semestinya kita berpikir untuk mementingkan pendidikan, bukan “keperawanan”......Karena yang terjadi akhir-akhir ini banyak kalangan yang menilai pentingnya “keperawanan” seseorang terhadap lurus tidaknya dia atau suci tidaknya perilaku dia dalam kehidupan. Bahkan saat ini tengah digodog untuk dijadikan pedoman dalam suatu kebijakan perundang-undangan di bidang pendidikan. Penerapan ini telah lebih dulu dilakukan oleh Lembaga negara yang bernama kepolisian. Bahwa barang siapa yang tidak “perawan” tidak bisa menjadi Polwan. Pertanyaannya, bagaimana dengan keperjakaan laki-laki? Apakah dinilai juga???
Kenikmatan seksual pada perempuan dapat bervariasi. Dielus, disayang-sayang dsb, dapat memicu terjadinya orgasme. Hal ini bisa dikatakan bahwa orgasme merupakan salah satu indikator dalam menentukan kenikmatan seksual seseorang. Banyak perempuan yang tidak merasakan orgasme, bahkan ketika ditanya, bagaimana rasanya orgasme itu?? Diantara mereka ada yang menjawab tidak tahu. Lebih buruk lagi, bahkan sampai hari tua mereka tidak mampu merasakan orgasme. Berbanding terbalik dengan laki-laki. Umumnya laki-laki selalu mencapai klimaks. Apakah ini yang disebut dengan “keadilan”?? mungkin diantara para pembacapun mengalami hal yang demikian??? Mohon dijawab sendiri.
Kemampuan untuk mengungkapkan dan mengekspresikan keinginan seksual bagi seorang perempuan, membutuhkan kekuatan hati yang kuat. Ini dapat dilakukan jika adanya kesetaraan di antara pasangan. Jika ada salah satu pasangan yang mendominansi, maka akan menjadi bumerang serta menjadi sulit bagi pasangannya dalam mencapai orgasme. Inilah yang terjadi pada perempuan-perempuan kita...
Agresifitas laki-laki membuat mereka lebih dominan dalam seksual...Laki-laki selalu mendominasi dan selalu berharap perempuan untuk tunduk atas kemauan mereka. Dari segi pengalaman, laki-laki lebih tahu banyak daripada wanita (umumnya). Ini karena mereka (Red,laki-laki) lebih banyak membaca buku atau majalah yang berhubungan dengan seksual. Bahkan mungkin saja diantaranya telah lebih dulu berpengalaman. Dan dengan pengalaman dan pengetahuannya itulah, dia (Red, laki-laki) membentuk bahtera rumah tangga, dengan harapan menjadi keluarga yang sakinah. Perempuan sepintar apapun dia, menjadi tabu ketika membahas, atau mengucapkan kata-kata yang berhubungan dengan seksual. Jika ada, maka perempuan tersebut akan dicap sebagai perempuan yang tidak baik. Perempuan yang terhormat dan suci, apabila dia tidak mengucapkan kata-kata yang berhubungan dengan seksual. Dalam hal ini, pendidikan seksual masih dianggap tabu dan menjadi terbatas pada kalangan, daerah atau tingkat masyarakat tertentu saja.
Titik tolaknya bahwa kebudayaan harus membebaskan wanita dalam persoalan seksualitas. Seksualitas bukan saja dinilai hanya sebatas di “Tempat Tidur” saja, namun lebih dari itu. Jika demikian, maka hak-hak wanita banyak yang tidak terpenuhi. Intinya adalah, kalau diskriminasi di tempat tidur dapat dibongkar, maka diskriminasi di ruang publik akan mudah terkuak.
Orgasme itu dianalogikan ketika kita menggambarkan pelangi kepada seorang buta. Seorang perempuan yang semakin naif, akan dikategorikan sebagai perempuan yang suci. Artinya, semakin naif berarti semakin suci. Semakin diam, berarti semakin baik. Benarkah demikian???
Akhirnya, kesimpulan yang dapat diambil adalah “Sadarilah, bahwa perempuanpun berdaulat atas tubuhnya sendiri”. Berikanlah kemerdekaan kepada mereka. Untuk generasi orgasme di masa mendatang....
Semoga.....