Tuesday, December 7, 2010

GENDERISASI, PERSPEKTIF ORGASME

Selama ini perempuan pasif dalam seksual....
Ketika seorang wanita berbicara tentang seksual atau suatu ucapan yang berbau seks, maka akan ada perlekatan bahwa dia adalah seorang perempuan yang tidak baik.....Atau apabila seorang perempuan mengungkapkan isi hatinya dan mengekspresikan daya seksual mereka, langsung diintimidasikan dengan hal-hal yang negatif. Ruang terbatas yang diberikan kepada mereka menjadi pembatas untuk bekerja, dan berbuat. Bukan saja di dalam kehidupan yang serba gemerlap ini, namun perlakukan “ketidakadilan” tersebut terjadi juga di “tempat tidur”. Laki-laki sering menjadikan mereka sebagai objek, bukan sebagai subjek.
Kaum laki-laki seringkali merasa memiliki “hak istimewa” untuk membuat berbagai penilaian atas tubuh perempuan. Penilaian laki-laki umumnya hanya berkisar pada wujud dan ukuran buah dada, bentuk pinggul, mulusnya paha, warna dan seksinya bibir, gaya dan panjang rambut, dan lain sebagainya yang bersifat biologis. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana bila giliran perempuan yang mengekspresikan pengalaman seksnya? Jawabnya adalah Tabu. Itulah jawaban yang sering kita dengar di tengah masyarakat, khususnya di Indonesia, yang masih kuat memegang teguh budaya ketimuran dan doktrin agama. Apalagi seorang perempuan yang membicarakan pengalaman puncak kenikmatan seksnya atau orgasmenya di depan publik. Selama ini masih ada anggapan kuat bahwa perempuan tidak pantas membicarakan kenikmatan seksnya secara terbuka. Tabu atau pantangan adalah suatu pelarangan sosial yang kuat terhadap kata, benda, tindakan, atau orang yang dianggap tidak diinginkan oleh suatu kelompok, budaya, atau masyarakat. Pelanggaran tabu biasanya tidak dapat diterima dan dapat diaggap menyerang. Beberapa tindakan atau kebiasaan yang bersifat tabu bahkan dapat dilarang secara hukum dan pelarangannya dapat menyebabkan pemberian sanksi keras. Tabu dapat juga membuat malu, aib, dan perlakuan kasar di lingkungan sekitar.
Berbagai kalangan menilai bahwa perempuan merupakan suatu misteri yang sulit ditentukan. Salah satu kesulitan yang tidak dapat diukur adalah kehadiran orgasme dalam kehidupan seksual perempuan. Sekitar 70% perempuan di dunia, tidak mampu melakukan orgasme. Orgasme pada perempuan, hanya terjadi pada 3 dari 10 orang perempuan saja. Ini membuktikan bahwa betapa sulitnya perempuan mencapai titik klimaks (puncak kenikmatan) yang sering diidolakan itu. Berbeda dengan laki-laki, hampir 70% mencapai orgasme dengan sempurna.
Terkadang kita sering melupakan pentingnya orgasme bagi perempuan. Ketika kita diperhadapkan dengan kelembutan dan kehangatan perempuan, tak pelak sisi arogansi kita sering dikedepankan. Atas nama cinta dan kasih sayang, kita mengelukan dan menggembar-gemborkan kepuasan lahiriah. Namun dibalik itu semua, ada “penjajahan terselubung” yang sulit untuk diungkapkan. Titik G-Spot yang selama ini digembor-gemborkan, ternyata hanya sebagai simbol pengetahuan bagi kaum adam semata. Aplikasinya, tetap tidak merubah keadaan. Mayoritas perempuan, masih terbelenggu dalam ketidakpuasan. Apakah titik G-Spot tersebut sulit ditemukan? Tidak. Lalu, apakah dari perempuan sendiri yang sulit mencapai klimaks??Sekali lagi tidak. Lantas, bagaimana perempuan harus mencapai klimaks itu??
Ada 3 faktor pemicu orgasme perempuan:
1. Mempunyai Relasi yang sama. Kedudukan antara perempuan dan laki-laki yang sederajat/setara, dapat memicu terjadinya orgasme pada seorang perempuan. Keinginan-keinginan perempuan dapat diungkapkan, komunikasipun dapat berjalan dengan lancar (dua arah, bukan searah). Sehingga diharapkan, dengan membangun kesetaraan di antara pasangan, dapat memicu terjadinya orgasme perempuan.
2. Tahu tentang seluk-beluk diri dan tubuhnya. Seorang wanita yang mengetahui keadaan diri dan tubuhnya, akan semakin membuat dia paham akan kebutuhan setiap inchi dari tubuhnya. Kondisi demikian dapat memicu terjadinya orgasme. Karena bagi perempuan yang tahu akan tubuhnya, maka kenikmatan seksual dapat terpenuhi. Sehingga pendidikan seksual bagi kaum perempuan juga berperan dalam menigkatkan orgasmenya.
3. Tidak berada dalam tekanan atau tindak kekerasan. Jelaslah bahwa apabila seorang perempuan berada dalam tekanan, maka dia tidak dapat menikmati aktivitas seksual dengan sempurna.
Faktor-faktor penghambat orgasme perempuan adalah:
1. Wanita yang telah dipoligami. Mereka akan merasa bahwa tubuh, cinta dan sayang mereka telah terbagi. Tidak utuh lagi, sehingga kenikmatan seksual mereka tidak tereksplorasi dengan baik.
2. Tidak ada kesetaraan. Dominasi laki-laki bukan saja dalam kehidupan sehari-hari, tetapi berlanjut di “tempat tidur”. Hal ini mempengaruhi perempuan untuk berkomunikasi dengan pasangannya. Sehingga dapat mengurangi kemampuan orgasme mereka, bahkan hilang sama sekali. Banyak perempuan yang merasa bahwa mereka hanya dijadikan sebagai tempat pemuas nafsu saja, tidak lebih dari itu.
Kaitannya dengan kata dominasi, maka ada dominasi dari sistem patrilinial yang sangat terasa dalam hidup dan kehidupan. Termasuk kemampuan dominasi manusia terhadap mahluk hidup lainnya. Alam ini sedang “diperkosa” oleh dominasi kebudayaan yang maskulin. Sehingga eksploitasi dan eksplorasi terhadap alam, dapat kita saksikan di setiap penjuru tanah air. Ini membuktikan betapa kegiatan “pemerkosaan” terhadap alam, sering dilakukan. Tak ada rasa penyesalan sedikitpun atas perlakuan ini. Budaya dominasi terhadap sesuatu, menjadikan kita merasa lebih baik daripada mahluk hidup lainnya. Perilaku konsumtif juga turut menjadi faktor pemicu dan pendukung atas kegiatan ini. Peradaban yang kita bangga-banggakan hanya menjadi kamuflase dengan eksistensi perilaku oknum tertentu.
Semestinya kita berpikir untuk mementingkan pendidikan, bukan “keperawanan”......Karena yang terjadi akhir-akhir ini banyak kalangan yang menilai pentingnya “keperawanan” seseorang terhadap lurus tidaknya dia atau suci tidaknya perilaku dia dalam kehidupan. Bahkan saat ini tengah digodog untuk dijadikan pedoman dalam suatu kebijakan perundang-undangan di bidang pendidikan. Penerapan ini telah lebih dulu dilakukan oleh Lembaga negara yang bernama kepolisian. Bahwa barang siapa yang tidak “perawan” tidak bisa menjadi Polwan. Pertanyaannya, bagaimana dengan keperjakaan laki-laki? Apakah dinilai juga???
Kenikmatan seksual pada perempuan dapat bervariasi. Dielus, disayang-sayang dsb, dapat memicu terjadinya orgasme. Hal ini bisa dikatakan bahwa orgasme merupakan salah satu indikator dalam menentukan kenikmatan seksual seseorang. Banyak perempuan yang tidak merasakan orgasme, bahkan ketika ditanya, bagaimana rasanya orgasme itu?? Diantara mereka ada yang menjawab tidak tahu. Lebih buruk lagi, bahkan sampai hari tua mereka tidak mampu merasakan orgasme. Berbanding terbalik dengan laki-laki. Umumnya laki-laki selalu mencapai klimaks. Apakah ini yang disebut dengan “keadilan”?? mungkin diantara para pembacapun mengalami hal yang demikian??? Mohon dijawab sendiri.
Kemampuan untuk mengungkapkan dan mengekspresikan keinginan seksual bagi seorang perempuan, membutuhkan kekuatan hati yang kuat. Ini dapat dilakukan jika adanya kesetaraan di antara pasangan. Jika ada salah satu pasangan yang mendominansi, maka akan menjadi bumerang serta menjadi sulit bagi pasangannya dalam mencapai orgasme. Inilah yang terjadi pada perempuan-perempuan kita...
Agresifitas laki-laki membuat mereka lebih dominan dalam seksual...Laki-laki selalu mendominasi dan selalu berharap perempuan untuk tunduk atas kemauan mereka. Dari segi pengalaman, laki-laki lebih tahu banyak daripada wanita (umumnya). Ini karena mereka (Red,laki-laki) lebih banyak membaca buku atau majalah yang berhubungan dengan seksual. Bahkan mungkin saja diantaranya telah lebih dulu berpengalaman. Dan dengan pengalaman dan pengetahuannya itulah, dia (Red, laki-laki) membentuk bahtera rumah tangga, dengan harapan menjadi keluarga yang sakinah. Perempuan sepintar apapun dia, menjadi tabu ketika membahas, atau mengucapkan kata-kata yang berhubungan dengan seksual. Jika ada, maka perempuan tersebut akan dicap sebagai perempuan yang tidak baik. Perempuan yang terhormat dan suci, apabila dia tidak mengucapkan kata-kata yang berhubungan dengan seksual. Dalam hal ini, pendidikan seksual masih dianggap tabu dan menjadi terbatas pada kalangan, daerah atau tingkat masyarakat tertentu saja.
Titik tolaknya bahwa kebudayaan harus membebaskan wanita dalam persoalan seksualitas. Seksualitas bukan saja dinilai hanya sebatas di “Tempat Tidur” saja, namun lebih dari itu. Jika demikian, maka hak-hak wanita banyak yang tidak terpenuhi. Intinya adalah, kalau diskriminasi di tempat tidur dapat dibongkar, maka diskriminasi di ruang publik akan mudah terkuak.
Orgasme itu dianalogikan ketika kita menggambarkan pelangi kepada seorang buta. Seorang perempuan yang semakin naif, akan dikategorikan sebagai perempuan yang suci. Artinya, semakin naif berarti semakin suci. Semakin diam, berarti semakin baik. Benarkah demikian???
Akhirnya, kesimpulan yang dapat diambil adalah “Sadarilah, bahwa perempuanpun berdaulat atas tubuhnya sendiri”. Berikanlah kemerdekaan kepada mereka. Untuk generasi orgasme di masa mendatang....
Semoga.....

No comments: