Thursday, November 26, 2009

Kecerdasan Manusia

KECERDASAN MANUSIA, SEBUAH REFLEKSI

ZULKIFLI AHMAD


INTELLEGENCE QUOTIENT (IQ) yang hampir seratus tahun alu diperkenalkan oleh William Stern telah menyita perhatian yang tidak kecil dari semua orang. Bangunan-bangunan utama kecerdasan, ditakar dalam skor-skor tertentu. Takaran IQ bahkan telah mejadi momok bagi siswa tertentu ketika ia harus memilih mau menjadi apa dia kelak. Yang lebih tragis lagi, takaran IQ telah menghilangkan kesempatan berkembang bagi mereka yang memiliki IQ yang rendah, tetapi dengan kecerdasan lain yang dominan.

Jika ada yang bertanya bahwa antara Mike Tyson dan Albert Einstein, siapa yang lebih cerdas? Atau ketimbang cerdas mana antara Taufik Hidayat dan B. J. Habibie? Hampir sebagian besar dari kita akan menjawab, bahwa yang lebih cerdas pasti adalah Albert Einstein dibandingkan dengan Mike Tyson. Begitu pula dengan B.J. Habibie, lebih cerdas dibanding Taufik Hidayat. Dibenak kita-mungkin juga ada di benak sebagian besar pendidik di Indonesia-bahwa yang disebut cerdas hanyalah mereka yang yang cerdas di bidang Matematika dan Bahasa saja. Padahal, matematika dan bahasa hanyalah dua dari tujuh kecerdasan yang dimiliki manusia. Nilai rapor, IPK, bahkan IQ hanya mengkur dua jenis kecerdasan ini. Tentu, jika ditilik dari kecerdasan kinestetis pastilah Tyson jauh lebih cerdas dari Einstein dan Taufik Hidayat jauh lebih cerdas daripada Habibie.

Pada diri setiap orang, terdapat tujuh jenis kecerdasan dengan potensi dan kadar yang berbeda-beda. Ketujuh kecerdasan itu adalah linguistik (kemampuan berbahasa), matematika, spasial (pengenalan ruang), kinestetis (gerak), musik, antarpribadi dan interpribadi. Seseorang mungkin saja memiliki kecerdasan linguistik yang menonjol, tetapi dengan kadar kecerdasan musik yang mungkin saja rendah. Para politikus pasti memiliki kecerdasan anarpribadi (people smart) yang tinggi, tetapi mungkin saja memiliki kecerdasan interpribadi (self smart) yang rendah. Jelasnya bahwa setiap orang memiliki tujuh jenis kecerdasan itu dengan kadar yang berbeda-beda. Masalahnya, pendidikan di Indonesia cenderung mengoptimalkan satu atau dua kecerdasan saja, penghargaan pun masih untuk satu atau dua kecerdasan saja

Sebagian besar orang lebih mengidolakan Habibie daripada Iwan Fals. Sebagian lagi mengidolakan Thomas Edison daripada petinju Muhammad Ali. Ini tidak sepenuhnya salah. Namun, ini dapat menjadi bukti kurangnya penghargaan terhadap kemampuan lain yang dimiliki oleh beragam orang. Bayangkan saja, prasyarat penerimaanpegawai/karyawan di sebuah perusahaan/perkantoran adalah “ berpendidikan sarjana, IPK di atas 3.0, pengalaman kerja 1 tahun, dan diutamakan sarjana eksakta”. Prasyarat itu yang selalu hadir dalam setiap penerimaan pegawai apapun, lahir karena anggapan berlebihan terhadap 1 jenis kecerdasan saja. Seakan-akan ada hubungan langsung antara IPK 3.0 dengan keberhasilan pekerjaan. Prasyarat tersebut telah mengakibatkan kerugian yang tidak kecil bagi mereka yang memiliki IPK di bawah 2.0 tetapi dengan kecerdasan lain yang lebih dominan.

Kita terlalu eksrim dan sangat cepat dalam mebuat penilaian terhadap kemampuan person manusia. Ketika seorang mahasiswa terlalu lama dalam studinya, kita telah menganggap bahwa pati IPK nya rendah, atau bahkan mahasiswa tersebut dianggap memiliki IQ di bawah rata-rata/jongkok. Namun, banyak dari mahasiswa tersebut ternyata menjadi orang-orang yang sukses dan bahkan lebih sejahtera dari teman-teman mereka yang masa studinya hanya 4 tahun. Terkadang kita lupa bahwa kita pun tercipota tidak sempurna. Masih banyak kekurangan yang perlu kita benahi. Dan yang paling penting, kita tidak perlu memberikan penilaian merugi kepada orang lain. Penghargaan, senantiasa kita berikan kepada mereka yang memiliki 1 jenis kecerdasan saja. Sedangkan bagi mereka yang menonjol pada jenis kecerdasan lain, tidak dihargai, bahkan kita tidak pernah memberikan kesempatan kepada mereka untuk berbuat dan tunjukkan kemampuannya.

Tubuh manusia, baik dalam perkembangan spesis maupun individu, memang sudah diprogram sedemikian rupa untuk mengontrol gerakan secara berlawanan. Hampir semua organ gerak dan bagian tubuh sebelah kiri, dikontrol oleh otak sebelah kanan. Sebaliknya, organ gerak kanan dan bagian tubuh sebelah kanan, diatur dan diawasi oleh otak sebelah kiri. Beberapa cara kerja otak kiri, antara lain analisi dan faktual, telah mejadi tren selama ratusan tahun lalu dalam cara berpikir umat manusia. Millenium yang lalu, para pemikir bertanya tentang “what is” (apa ini?) ketika mereka menghadapi sesuatu. Sesuatu itu kemudian dianalisis sedemikian rupa menjadi bagian-bagian kecil, yang sungguh-sungguh objektif. Cara berpikir seperti hanya tertuju pada “pembetulan kesalahan”. Konsekuensinya, semua pemikiran adalah pemecahan persoalan atau meluruskan apa yang keliru saja.

Untuk menghadapi millenium baru ini, menurut Edward deBono, corak berpikir seperti itu tidak cocok lagi. “What can be” (apa yang mungkin dilakukan), adalah pertanyaan relevan yang diajukan untuk masa kini. Cara berpikir analitis, yang khas otak kiri itu, membuat manusia tidak berkembang bengan baik. Hal itu membuat manusia kehilangan kreativitasnya, karena ia menghadapi ssuatu yang memang sudah ada. Pemikirannya tidak berkembang, statis dan tidak menghasilkan sesuatu yang baru. Sebaliknya, bertanya “apa yang mungkin dilakukan”, seperti ciri khas imajinatif otak kanan, akan membawa pada ribuan kemungkinan dan ribuan kreativita.

Tren yang dipotret oleh Eward deBono ini, slowly but surely, menjadi tren baru di semua bidang kehidupan. Pemikiran konstruktif dan imajinatif hanya dapat muncul dengan corak berpikir otak kanan. Konsekuensi logis dari corak berpikir otak kiri, turut membentuk arah sistem pendidikan. Arah itu menjadi keliru karena tiga paradigma dasar yang membentuknya ; (1) ukuran kecerdasan adalah nilai matematika dan bahasa, (2) kunci kesuksesan adalah nilai-nilai IQ (rapor, indeks prestasi dll), dan (3)orientasi pada pemecahan masalah.

Profesor ilmu jiwa Universitas Harvard Richard Hernstein dan ilmuwan politik Charles Murray menutup abad ke-20 dengan “pendewaan besar-besaran terhadap IQ”. Mereka bersikeras bahwa bodohnya orang kulit hitam, dan cerdasnya orang kulit putih memang sudah diatur sedemikia rupa. Hernstein dan Murray menunjukkan elemen genetik sebagai penanggung jawab keadaan itu. Mereka rupa-rupanya lupa bahwa Einstein pun pernah dianggap bodoh dan dikeluarkan dari kelasnya. Nilai-nilai rapor Einstein sangat rendah, sehingga guru Sdnya menganggap ia terlalu bodoh. Di keudian hari, nilai-nilai rapor itu bukanlah kunci kesuksesan Einstein.

Di Indonesia, dengan model pendidikannya yang berubah setiap kali ganti Menteri pun tidak terlepas dari “pendewaan” terhadap kecerdasan matematis dan IQ. Tidak puas dengan “penerapan kecerdasan rapor” di pendidikan dasar dan menengah, di bangku kuliah pun “kecerdasan rapor itu dipakai. Padahal kemampuan memecahkan masalah-mendidik bagaimana seorang sarjana menjadi seorang problem solver-tidak hanya ditentukan oleh “kecerdasan rapor” belaka.

Titik berat pendidikan di Indonesia yang hanya memberi kesempatan berkembang pada otak kiri itu, membuat otak kanan terbengkalai. Sekedar contoh saja, Ujian Akhir Semester (UAS), hanya sanggup mengukur kemampuan otak kiri anak didik. Hasi UAS bukanlah gambaran utuh kecerdasan anak didik. Karena itu sejogjanya bukan merupakan indikator kelulusan. Menurut Robert Copper, kecerdasan rapor atau IQ itu hanya menyumbangkan sekitar 4 persen saja bagi keberhasilan hidup. Paling penting, keberhasilan 90 persen ditentukan oleh kecerdasan-kecerdasan lain.

Untuk itu perlu dikembangkan model pembelajaran yang mengembangkan kemampuan otak kanan. Agar nantinya kita tidak saja menghasilkan sarjana/ilmuwan yang notabene-nya mengajar, mendidik dan meneliti saja, namun kearifan berpikir tentang kemaslahatan umat sesuai dengan bidang ilmunya dapat terwujud. Karena seorang sarjana/ilmuwan tanpa kearifan berpikir. Akan tercipta “ sosok manusia tanpa rasa”.

No comments: