KECERDASAN MANUSIA, SEBUAH REFLEKSI
ZULKIFLI AHMAD
INTELLEGENCE QUOTIENT (IQ) yang hampir seratus tahun alu diperkenalkan oleh William Stern telah menyita perhatian yang tidak kecil dari semua orang. Bangunan-bangunan utama kecerdasan, ditakar dalam skor-skor tertentu. Takaran IQ bahkan telah mejadi momok bagi siswa tertentu ketika ia harus memilih mau menjadi apa dia kelak. Yang lebih tragis lagi, takaran IQ telah menghilangkan kesempatan berkembang bagi mereka yang memiliki IQ yang rendah, tetapi dengan kecerdasan lain yang dominan.
Jika ada yang bertanya bahwa antara Mike Tyson dan Albert Einstein, siapa yang lebih cerdas? Atau ketimbang cerdas mana antara Taufik Hidayat dan B. J. Habibie? Hampir sebagian besar dari kita akan menjawab, bahwa yang lebih cerdas pasti adalah Albert Einstein dibandingkan dengan Mike Tyson. Begitu pula dengan B.J. Habibie, lebih cerdas dibanding Taufik Hidayat. Dibenak kita-mungkin juga ada di benak sebagian besar pendidik di
Pada diri setiap orang, terdapat tujuh jenis kecerdasan dengan potensi dan kadar yang berbeda-beda. Ketujuh kecerdasan itu adalah linguistik (kemampuan berbahasa), matematika, spasial (pengenalan ruang), kinestetis (gerak), musik, antarpribadi dan interpribadi. Seseorang mungkin saja memiliki kecerdasan linguistik yang menonjol, tetapi dengan kadar kecerdasan musik yang mungkin saja rendah.
Sebagian besar orang lebih mengidolakan Habibie daripada Iwan Fals. Sebagian lagi mengidolakan Thomas Edison daripada petinju Muhammad Ali. Ini tidak sepenuhnya salah. Namun, ini dapat menjadi bukti kurangnya penghargaan terhadap kemampuan lain yang dimiliki oleh beragam orang. Bayangkan saja, prasyarat penerimaanpegawai/karyawan di sebuah perusahaan/perkantoran adalah “ berpendidikan sarjana, IPK di atas 3.0, pengalaman kerja 1 tahun, dan diutamakan sarjana eksakta”. Prasyarat itu yang selalu hadir dalam setiap penerimaan pegawai apapun, lahir karena anggapan berlebihan terhadap 1 jenis kecerdasan saja. Seakan-akan ada hubungan langsung antara IPK 3.0 dengan keberhasilan pekerjaan. Prasyarat tersebut telah mengakibatkan kerugian yang tidak kecil bagi mereka yang memiliki IPK di bawah 2.0 tetapi dengan kecerdasan lain yang lebih dominan.
Kita terlalu eksrim dan sangat cepat dalam mebuat penilaian terhadap kemampuan person manusia. Ketika seorang mahasiswa terlalu lama dalam studinya, kita telah menganggap bahwa pati IPK nya rendah, atau bahkan mahasiswa tersebut dianggap memiliki IQ di bawah rata-rata/jongkok. Namun, banyak dari mahasiswa tersebut ternyata menjadi orang-orang yang sukses dan bahkan lebih sejahtera dari teman-teman mereka yang masa studinya hanya 4 tahun. Terkadang kita lupa bahwa kita pun tercipota tidak sempurna. Masih banyak kekurangan yang perlu kita benahi. Dan yang paling penting, kita tidak perlu memberikan penilaian merugi kepada orang lain. Penghargaan, senantiasa kita berikan kepada mereka yang memiliki 1 jenis kecerdasan saja. Sedangkan bagi mereka yang menonjol pada jenis kecerdasan lain, tidak dihargai, bahkan kita tidak pernah memberikan kesempatan kepada mereka untuk berbuat dan tunjukkan kemampuannya.
Tubuh manusia, baik dalam perkembangan spesis maupun individu, memang sudah diprogram sedemikian rupa untuk mengontrol gerakan secara berlawanan. Hampir semua organ gerak dan bagian tubuh sebelah kiri, dikontrol oleh otak sebelah kanan. Sebaliknya, organ gerak kanan dan bagian tubuh sebelah kanan, diatur dan diawasi oleh otak sebelah kiri. Beberapa cara kerja otak kiri, antara lain analisi dan faktual, telah mejadi tren selama ratusan tahun lalu dalam cara berpikir umat manusia. Millenium yang lalu, para pemikir bertanya tentang “what is” (apa ini?) ketika mereka menghadapi sesuatu. Sesuatu itu kemudian dianalisis sedemikian rupa menjadi bagian-bagian kecil, yang sungguh-sungguh objektif. Cara berpikir seperti hanya tertuju pada “pembetulan kesalahan”. Konsekuensinya, semua pemikiran adalah pemecahan persoalan atau meluruskan apa yang keliru saja.
Untuk menghadapi millenium baru ini, menurut Edward deBono, corak berpikir seperti itu tidak cocok lagi. “What can be” (apa yang mungkin dilakukan), adalah pertanyaan relevan yang diajukan untuk masa kini. Cara berpikir analitis, yang khas otak kiri itu, membuat manusia tidak berkembang bengan baik. Hal itu membuat manusia kehilangan kreativitasnya, karena ia menghadapi ssuatu yang memang sudah ada. Pemikirannya tidak berkembang, statis dan tidak menghasilkan sesuatu yang baru. Sebaliknya, bertanya “apa yang mungkin dilakukan”, seperti ciri khas imajinatif otak kanan, akan membawa pada ribuan kemungkinan dan ribuan kreativita.
Tren yang dipotret oleh Eward deBono ini, slowly but surely, menjadi tren baru di semua bidang kehidupan. Pemikiran konstruktif dan imajinatif hanya dapat muncul dengan corak berpikir otak kanan. Konsekuensi logis dari corak berpikir otak kiri, turut membentuk arah sistem pendidikan. Arah itu menjadi keliru karena tiga paradigma dasar yang membentuknya ; (1) ukuran kecerdasan adalah nilai matematika dan bahasa, (2) kunci kesuksesan adalah nilai-nilai IQ (rapor, indeks prestasi dll), dan (3)orientasi pada pemecahan masalah.
Profesor ilmu jiwa Universitas Harvard Richard Hernstein dan ilmuwan politik Charles Murray menutup abad ke-20 dengan “pendewaan besar-besaran terhadap IQ”. Mereka bersikeras bahwa bodohnya orang kulit hitam, dan cerdasnya orang kulit putih memang sudah diatur sedemikia rupa. Hernstein dan
Di Indonesia, dengan model pendidikannya yang berubah setiap kali ganti Menteri pun tidak terlepas dari “pendewaan” terhadap kecerdasan matematis dan IQ. Tidak puas dengan “penerapan kecerdasan rapor” di pendidikan dasar dan menengah, di bangku kuliah pun “kecerdasan rapor itu dipakai. Padahal kemampuan memecahkan masalah-mendidik bagaimana seorang sarjana menjadi seorang problem solver-tidak hanya ditentukan oleh “kecerdasan rapor” belaka.
Titik berat pendidikan di
Untuk itu perlu dikembangkan model pembelajaran yang mengembangkan kemampuan otak kanan. Agar nantinya kita tidak saja menghasilkan sarjana/ilmuwan yang notabene-nya mengajar, mendidik dan meneliti saja, namun kearifan berpikir tentang kemaslahatan umat sesuai dengan bidang ilmunya dapat terwujud. Karena seorang sarjana/ilmuwan tanpa kearifan berpikir. Akan tercipta “ sosok manusia tanpa rasa”.
No comments:
Post a Comment